Tampilkan postingan dengan label Nina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nina. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Oktober 2012

Aku Telah Pergi, Nina!


Aku hanyalah manusia kerdil yang di pandang orang sebelah mata, aku hanyalah  manusia nista yang di caci maki orang di luar sana. Aku bagai sampah yang diludahi, di tindas, lalu di lenyapkan.

Kala rintik hujan mulai turun kaki ku membaur darah di mana-mana, serpihan beling menancap pedih di dasaran kaki hingga terkadang tak ku lihat lagi darah segar yang bermuncratan dari kaki ku. Apa sebab? Karna darah ku telah bersatu dengan tanah yang ikut menjadi kawan pilu di setiap langkah ku. Aku ini hanya lah seorang pemulung kecil yang terpaksa terjun ke hamparan tanah dengan kaki telanjang dan baju setia yang selalu melekat di tubuhku.  Tak ada ibu apa lagi bapak. Aku bagai butiran telur yang di biarkan menetas sendiri, tak ada kehangatan yang menyelimuti, hanya setitik cahaya yang mampu menerangi jalan hingga aku seperti ini.


       Tapi aku masih bisa tersenyum manis di atas kepahitan yang mendera hidupku. Sebab aku tak sendiri, Tuhan memberi ku teman untuk menyusuri petualangan hidup yang sesempit ini. Nina mampu membuatku tersenyum meski sengaja luka ku harus terselubung. Ya, dia adik ku yang ikut merangrang duka bersamaku. Usia nya masih enam tahun dan aku empat tahun lebih tua dari nya, kami sepasang kakak adik yang terlantar dari orang tua, ibu ku telah pergi sejak iya memperkenalkan Nina ke dunia. Sedang bapak ku. Ah aku tak peduli? Karna iya pun tak peduli dengan aku dan Nina. Setelah empat tahun ibu pergi meninggalkan kami, bapak telah menemukan penggantinya. Secepat itu memang bapak melenyapkan ibu dari memory otak nya. Mungkin dia layak di sebut sebagai orang yang tak memiliki otak. Sebab kala adik ku memasuki umur empat tahun dengan seenak hasrat nya iya meninggalkan kami. Dan bayangkan, kala itu usia ku masih delapan tahun, di mana usia seperti itulah aku membutuhkan kehadiran sosok ayah. Aku memang tak menuntut kehadiran ibu kala itu, karna aku menyadari bahwa ibu tak akan mungkin kembali bersama kami.



    Aku melihat ibu pergi saat detik-detik kelahiran adikku, dan itu nyaris membuat hidup ku pupus. Meskipun usiaku sangat belia tapi aku merasakan kedukaan itu. Dan saat orang-orang mengangkat jasad ibu hingga memasukan nya ke tanah liat yang terkesan berbentuk balok itu, aku hanya bisa melihat nya dari atas dengan sesekali aku menitihkan air mata. Kecil-kecil saja aku telah di perlihatkan dengan kematian. Sungguh ironi memang! Kendati begitu aku tak pernah mengeluh pada kehidupan, aku jalani sekuat ragaku, sepanjang hembusan nafas ku. Hingga akhirnya aku membesarkan nina dengan kedua tangan ku sendiri, meski aku terlahir sebagai seorang lelaki tapi aku mengerti bagaimana cara mengurus adikku. Dengan pekerjaan ku yang hanya seorang pemulung, ku rasa aku mampu memberi sebungkus nasi untuk Nina. Meski terkadang aku rela tak makan karna nya. Aku menyanyangi Nina melebihi segala nya. Dia adik satu-satu nya yang aku punya hingga kini. Dan kami hidup di sebuah gubuk kecil di pinggiran jalan. Hanya gubuk itu satu-satu nya tempat yang dapat kami tumpangi, meski terkesan tak layak untuk di tinggali, tapi aku rasa itu sangat layak untuk aku dan Nina hidup untuk masa ke depan nya.





     Kala awan gelap turun lebih cepat dan langit jingga tak tampak lagi menyinari, hingga matahari kembali beradu di ufuk barat. Aku masih berjalan diiringi kegelapan, aku melangkah menyusuri sampah demi sampah yang menggunung. Mencari sesuap nasi yang akan ku bekali untuk adikku, Nina. Meski kini aku tak bersama Nina. Iya sengaja ku tinggalkan sendiri di rumah tanpa iya harus mencariku, karna dari sejak iya berumur empat tahun itu aku telah mengajarinya kemandirian tanpa bergatung pada orang lain.  Mungkin kini iya hanya sedang berbaring menunggu kedatangan ku. Aku tau kalau tindakan aku ini tak sepantasnya ku lakukan pada nya. Tapi apa lah daya, aku ini tak memiliki apa-apa, tak mengerti apa-apa, kecuali hanya mencari tumpukan sampah.   Aku pun berjanji pada nya akan pulang jika aku telah membelikan makanan untuk nya. Oleh karna itu, aku masih menyusuri jalan dengan kedua kaki ku yang telanjang tanpa alas. Dan aku Singgah dari tempat satu ke tempat lain, mengharap mendapatkan tumpukan sampah yang bernilai guna.

       Tak lama aku menyusuri jalan yang tajam ini, keranjang sampah ku terasa berat. Ku rasa ini sudah cukup untuk membelikan sebungkus nasi untuk Nina. Dengan hati sedikit lega, ku langkahkan kaki  untuk menukarkan sampah itu agar menjadi lembaran uang. Ya, aku melihat di seberang jalan ada pasar yang menerima sampah-sampah bekas seperti ini. Segera ku susuri jalan dengan hati yang senang. Namun aku merasakan gelagat lain, jantung ku tiba-tiba berdenyut kencang, kaki ku mendadak kaku, dan tubuhku terasa sangat dingin. Aku pun tak meneruskan langkah, aku berhenti sejenak di pinggiran jalan. Tapi mata ku tak tahan untuk segera menyebrangi jalan itu, aku terbayang sosok adikku yang menunggu kelaparan, hingga akhir nya  ku turuti kehendak mataku itu. Aku mulai menggerakan kaki ke ruas jalan. Dan apa yang ku dapat! Tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna biru metalik melaju dengan kencang nya hingga mampu membuat mataku menjadi suram. Aku seperti berada di depan cahaya yang teramat terang. Kaki ku kini menjadi mengeras bagai es di kutub utara, aku tak bisa bergerak, mata ku samar menatap, tubuhku mendadak lemas, dan aku terhempas. Semua orang berbondong-bondong menghampiri jasad ku. Aku melihat banyak mata memandang duka ke arah ku. Aku tak mengerti? Aku seperti telah terbang, kaki ku yang tadi nya bersentuh tanah kini tak ku rasa lagi. Badan ku terasa ringan. Aku pun mengawang, terbang ke atas langit. Pertanda apakah ini? Dimanakah aku sekarang? Dan sekelebat cahaya putih menghampiri ku. Wajah nya terlalu bersih berseri, iya mengenakan baju putih suci. Dia berkata padaku :

Sekarang sudah waktunya kamu ikut bersamaku?
Ikut bersamamu?
Iya.
Memang kita mau kemana?
Kita akan menuju hidup yang abadi?
Tidak! aku tak ingin ikut dengan mu, masih ada seorang adik yang sangat membutuhkanku, aku tak akan mungkin ikut dengan mu.
Tapi ini sudah saat nya, kamu bukan lagi manusia seutuh nya. Kamu adalah roh yang keluar dari jasad mu itu? Kata nya sembari menunjuk ragaku yang terbaring bersimbah darah di tengah jalanan.
Apa? Jadi aku telah mati?
Ya.
Tapi, berilah aku waktu untuk kembali menemui adik ku. Dia pasti sedang menungguku.
Baiklah, tapi waktumu hanya sebentar.



      Aku pun segera berlari meski kaki ku tak menyentuh tanah, bisa di bilang aku seperti terbang. Sesampai aku di gubuk tua itu. Aku melihat sepasang bola mata yang sangat redup terpancar dari raut adikku. Aku coba mendekati nya hingga hasrta ku ingin sekali mendekap nya. Namun sia, tangan ku menembus badannya. Aku sedih, hingga aku menangis di hadapan nya. “Maafkan, aku dik! Aku tak bisa lagi menemanimu seperti dulu, Aku tak bisa lagi membelikanmu sebengkus nasi, kini dunia kita telah berbeda . Tapi aku janji akan selalu menjaga mu dari atas sana.” Aku berucap sembari minitihkan air mata. Aku merasa kehilangan sosok nya. Dan ku lihat adik ku seperti kelaparan iya meremas perut nya dan berbaring sampai akhir nya aku melihat jasad nya untuk yang terakhir kali. Dan aku kini telah pergi jauh mengangkasa.

Oleh :
Kharin Nisa