Aku hanyalah manusia
kerdil yang di pandang orang sebelah mata, aku hanyalah manusia nista yang di caci maki orang di
luar sana. Aku bagai sampah yang diludahi, di
tindas, lalu di lenyapkan.
Kala rintik hujan mulai turun kaki ku membaur darah
di mana-mana, serpihan beling menancap pedih di dasaran kaki hingga terkadang
tak ku lihat lagi darah segar yang bermuncratan dari kaki ku. Apa sebab? Karna
darah ku telah bersatu dengan tanah yang ikut menjadi kawan pilu di setiap
langkah ku. Aku ini hanya lah seorang pemulung kecil yang terpaksa terjun ke
hamparan tanah dengan kaki telanjang dan baju setia yang selalu melekat di
tubuhku. Tak ada ibu apa lagi bapak. Aku
bagai butiran telur yang di biarkan menetas sendiri, tak ada kehangatan yang
menyelimuti, hanya setitik cahaya yang mampu menerangi jalan hingga aku seperti
ini.
Tapi aku masih bisa tersenyum manis di
atas kepahitan yang mendera hidupku. Sebab aku tak sendiri, Tuhan memberi ku
teman untuk menyusuri petualangan hidup yang sesempit ini. Nina mampu membuatku
tersenyum meski sengaja luka ku harus terselubung. Ya, dia adik ku yang ikut
merangrang duka bersamaku. Usia nya masih enam tahun dan aku empat tahun lebih
tua dari nya, kami sepasang kakak adik yang terlantar dari orang tua, ibu ku
telah pergi sejak iya memperkenalkan Nina ke dunia. Sedang bapak ku. Ah aku tak
peduli? Karna iya pun tak peduli dengan aku dan Nina. Setelah empat tahun ibu
pergi meninggalkan kami, bapak telah menemukan penggantinya. Secepat itu memang
bapak melenyapkan ibu dari memory otak nya. Mungkin dia layak di sebut sebagai
orang yang tak memiliki otak. Sebab kala adik ku memasuki umur empat tahun
dengan seenak hasrat nya iya meninggalkan kami. Dan bayangkan, kala itu usia ku
masih delapan tahun, di mana usia seperti itulah aku membutuhkan kehadiran
sosok ayah. Aku memang tak menuntut kehadiran ibu kala itu, karna aku menyadari
bahwa ibu tak akan mungkin kembali bersama kami.
Aku melihat ibu pergi saat detik-detik
kelahiran adikku, dan itu nyaris membuat hidup ku pupus. Meskipun usiaku sangat
belia tapi aku merasakan kedukaan itu. Dan saat orang-orang mengangkat jasad
ibu hingga memasukan nya ke tanah liat yang terkesan berbentuk balok itu, aku
hanya bisa melihat nya dari atas dengan sesekali aku menitihkan air mata.
Kecil-kecil saja aku telah di perlihatkan dengan kematian. Sungguh ironi
memang! Kendati begitu aku tak pernah mengeluh pada kehidupan, aku jalani
sekuat ragaku, sepanjang hembusan nafas ku. Hingga akhirnya aku membesarkan
nina dengan kedua tangan ku sendiri, meski aku terlahir sebagai seorang lelaki
tapi aku mengerti bagaimana cara mengurus adikku. Dengan pekerjaan ku yang
hanya seorang pemulung, ku rasa aku mampu memberi sebungkus nasi untuk Nina.
Meski terkadang aku rela tak makan karna nya. Aku menyanyangi Nina melebihi
segala nya. Dia adik satu-satu nya yang aku punya hingga kini. Dan kami hidup
di sebuah gubuk kecil di pinggiran jalan. Hanya gubuk itu satu-satu nya tempat
yang dapat kami tumpangi, meski terkesan tak layak untuk di tinggali, tapi aku
rasa itu sangat layak untuk aku dan Nina hidup untuk masa ke depan nya.
Kala awan gelap turun lebih cepat dan
langit jingga tak tampak lagi menyinari, hingga matahari kembali beradu di ufuk
barat. Aku masih berjalan diiringi kegelapan, aku melangkah menyusuri sampah
demi sampah yang menggunung. Mencari sesuap nasi yang akan ku bekali untuk
adikku, Nina. Meski kini aku tak bersama Nina. Iya sengaja ku tinggalkan
sendiri di rumah tanpa iya harus mencariku, karna dari sejak iya berumur empat
tahun itu aku telah mengajarinya kemandirian tanpa bergatung pada orang
lain. Mungkin kini iya hanya sedang
berbaring menunggu kedatangan ku. Aku tau kalau tindakan aku ini tak
sepantasnya ku lakukan pada nya. Tapi apa lah daya, aku ini tak memiliki
apa-apa, tak mengerti apa-apa, kecuali hanya mencari tumpukan sampah. Aku pun berjanji pada nya akan pulang jika
aku telah membelikan makanan untuk nya. Oleh karna itu, aku masih menyusuri
jalan dengan kedua kaki ku yang telanjang tanpa alas. Dan aku Singgah dari
tempat satu ke tempat lain, mengharap mendapatkan tumpukan sampah yang bernilai
guna.
Tak lama aku menyusuri jalan yang tajam
ini, keranjang sampah ku terasa berat. Ku rasa ini sudah cukup untuk membelikan
sebungkus nasi untuk Nina. Dengan hati sedikit lega, ku langkahkan kaki untuk menukarkan sampah itu agar menjadi
lembaran uang. Ya, aku melihat di seberang jalan ada pasar yang menerima
sampah-sampah bekas seperti ini. Segera ku susuri jalan dengan hati yang
senang. Namun aku merasakan gelagat lain, jantung ku tiba-tiba berdenyut
kencang, kaki ku mendadak kaku, dan tubuhku terasa sangat dingin. Aku pun tak
meneruskan langkah, aku berhenti sejenak di pinggiran jalan. Tapi mata ku tak
tahan untuk segera menyebrangi jalan itu, aku terbayang sosok adikku yang
menunggu kelaparan, hingga akhir nya ku
turuti kehendak mataku itu. Aku mulai menggerakan kaki ke ruas jalan. Dan apa
yang ku dapat! Tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna biru metalik melaju dengan
kencang nya hingga mampu membuat mataku menjadi suram. Aku seperti berada di
depan cahaya yang teramat terang. Kaki ku kini menjadi mengeras bagai es di
kutub utara, aku tak bisa bergerak, mata ku samar menatap, tubuhku mendadak
lemas, dan aku terhempas. Semua orang berbondong-bondong menghampiri jasad ku.
Aku melihat banyak mata memandang duka ke arah ku. Aku tak mengerti? Aku
seperti telah terbang, kaki ku yang tadi nya bersentuh tanah kini tak ku rasa
lagi. Badan ku terasa ringan. Aku pun mengawang, terbang ke atas langit.
Pertanda apakah ini? Dimanakah aku sekarang? Dan sekelebat cahaya putih
menghampiri ku. Wajah nya terlalu bersih berseri, iya mengenakan baju putih
suci. Dia berkata padaku :
Sekarang sudah
waktunya kamu ikut bersamaku?
Ikut bersamamu?
Iya.
Memang kita mau
kemana?
Kita akan menuju
hidup yang abadi?
Tidak! aku tak
ingin ikut dengan mu, masih ada seorang adik yang sangat membutuhkanku, aku tak
akan mungkin ikut dengan mu.
Tapi ini sudah
saat nya, kamu bukan lagi manusia seutuh nya. Kamu adalah roh yang keluar dari
jasad mu itu? Kata nya sembari menunjuk ragaku yang terbaring bersimbah darah
di tengah jalanan.
Apa? Jadi aku
telah mati?
Ya.
Tapi, berilah
aku waktu untuk kembali menemui adik ku. Dia pasti sedang menungguku.
Baiklah, tapi
waktumu hanya sebentar.
Aku pun segera berlari meski kaki ku tak
menyentuh tanah, bisa di bilang aku seperti terbang. Sesampai aku di gubuk tua
itu. Aku melihat sepasang bola mata yang sangat redup terpancar dari raut
adikku. Aku coba mendekati nya hingga hasrta ku ingin sekali mendekap nya.
Namun sia, tangan ku menembus badannya. Aku sedih, hingga aku menangis di
hadapan nya. “Maafkan, aku dik! Aku tak bisa lagi menemanimu seperti dulu, Aku
tak bisa lagi membelikanmu sebengkus nasi, kini dunia kita telah berbeda . Tapi
aku janji akan selalu menjaga mu dari atas sana.” Aku berucap sembari
minitihkan air mata. Aku merasa kehilangan sosok nya. Dan ku lihat adik ku
seperti kelaparan iya meremas perut nya dan berbaring sampai akhir nya aku
melihat jasad nya untuk yang terakhir kali. Dan aku kini telah pergi jauh
mengangkasa.
Oleh :
Kharin Nisa