Desember 2011
Tak bosan. Tak akan pernah bosan aku menatap sesosok gadis
di hadapanku. Tetap cantik, meski kini ia tengah terbaring lemah dengan
wajahnya yang pucat pasi. Entah mengapa, dalam tak kesadarannya aku seakan
melihatnya tengah tersenyum kepadaku. Senyum yang tak asing buatku. Senyum yang
akrab menyapaku di setiap hari-hariku….. dulu,,,,
“Aku merindukanmu”
Ucapku terisak bukan untuk yang pertama kalinya. Aku yakin
ia akan mendengar apa yang ku katakan, walau tubuhnya tak bergerak sedikitpun.
Hanya suara dari mesin pendeteksi detak jantung yang ramaikan suasana yang ada
kini. Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya.
*****
28 Desember 2010
“Pritha, ada bintang jatuh!!!”
“Lalu?”
“Kata orang sih, kalau ada bintang jatuh… segala keinginan
kita akan terwujud”.
“Apa kamu percaya sama hal itu? Kamu kan cowo?”
“Emang cowo nggak boleh percaya begituan?! Udah deh, mending
kita coba dulu ajah!!”
Langit malam bersolek indah malam ini. Gemintang anggun
hiasi kepekatan malamnya. Dan di bawah dekapan malamnya, ku habiskan waktu
bersama Pritha, sahabatku. Seorang gadis cengeng yang periang, menyenangkan
sekaligus menyebalkan. Gadis kecil keras kepala yang terus mengajakku untuk
main boneka bersamanya, meski ia tahu bahwa aku seorang bocah laki-laki. Gadis
cilik yang super cerewet dan mau menang sendiri. selalu memaksa aku untuk terus
memboncengnya mengelilingi kompleks perumahan kami, meski kami sudah
mengitarinya lebih dari 5 kali.
“Udah berapa lama ya kita saling kenal?” tiba-tiba
pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.
“Nggak tau!! Emang kenapa? Toh, pada awalnya aku terpaksa
kan mau main dan kenal sama kamu!”
“Bawel amat sih, aku serius,Pram!!”
“Emang siapa yang nggak serius sih?!”
“Jadi udah berapa lama ya kita jadi sahabat?”
“Enam tahun”.
“Sok tahu! Emang kamu beneran yakin?”
“. . . .”
“Prithaaaaaa!!!!” tiba-tiba suara tante Vivi hadir memecah
sunyi yang ada di antara kami.
“Dipanggil noh, Non.”
“iya iya,..aku duluan ya Pram. Sampai besok…:)”
“Aku yakin banget,Tha. Kita udah deket selama enam tahun.
Aku nggak bakal lupa. Nggak akan pernah lupa, Tha. Besok adalah genap enam
tahun pershabatan kita. Semoga kamu juga nggak lupa”, ucapku dalam hati setelah
sosok Pritha melangkah menjauh dariku.
*****
29 Desember 2010
“‘dddrrrrt….dddrrrttt…ddrrrttt’
From : Pritha
+628133xxxxxxx
Pram, jangan lupa ya. Hari ini kita janjian di taman biasa.
Jam 9. Oke? Aku tunggu.
. . .
Sekali lagi ku lirik jam tanganku. Pukul 9.05. Sampai saat
ini aku belum menemukan sosok Pritha. Tak biasanya ia terlambat. Dia selalu
tepat waktu. Padahal, tadi aku sudah benar-benar terburu waktu, berusaha untuk
tak terlambat walau hanya untuk kali ini saja. Kekesalanku mulai muncul. Apa
Pritha sengaja datang terlambat untuk mengerjai aku? Awas saja dia.
Sembari menunggu, ku pandangi tulisan yang terukir di pohon
Mahoni yang rindang ini. Kami menulisnya tepat enam tahun yang lalu. Dan sejak
itulah, kami tetapkan hari itu sebagai hari jadi kami sebagai seorang sahabat.
Sahabat yang akan selalu hadir disaat salah satu di antara kami jatuh ataupun
sebaliknya. Sahabat yang selalu menjadi pendengar paling baik bahkan terkadang
melebihi orangtua kami sendiri. Selalu ada. Selalu bersama. Sekarang. Dan
selamanya. Amiin J
9.15. Pritha masih belum menampakkan sosoknya. Apa dia
baik-baik saja? Tak seperti biasanya ia terlmbat. Apalagi dia yang membuat
janji. Tak ada jawaban dari panggilan ku ke ponselnya. Semua pesanku juga tak
mendapat respon.
To : Pritha
08133xxxxxxx
Tha, kamu dimana? Uda jam beapa ini, Sayang? Inget ya, aku
sibuk. Nggak bisa nunggu lama-lama aku. Kalau bisa bales sms ini. Harus!!!.
Still waiting for you, Tha.
Tiga puluh menit.
Empat puluh lima menit.
Dan sekarang, hampir satu jam aku menunggunya. Pritha masih
belum hadir di sini. Aku ingin marah. Aku benar-benar merasa dihianati. Tapi,
sepertinya aku tak bisa. Ingin aku segera angkat kaki dari tempat ini. Hilang
harap sudah untuk yakin bahwa Pritha akan menginjakkan kakinya di taman ini.
Baiklah lima menit lagi. Ku beri kesempatan lima menit lagi. Tak lebih. Pritha,
ku mohon…
----Lima menit kemudian….----
“Pramana!!!”
Sebuah suara menghentikan langkahku. Suara yang tak asing,
begitu akrab di telingaku, namun terdengar lemah. Suara Pritha. Aku berbalik.
Dapat ku lihat seutas senyum tersimpul di wajah Pritha. Ia tampak pucat. Lemas.
Apa dia sakit? Tapi,….
“Maafin aku yah, Pram….” Dia berhamburan ke pelukanku. Ia
menangis sejadi-jadinya. “Kamu marah kan sama aku? Maaf banget, Maaf”.
Ku rasakan bulir-bulir bening hangat basahi bajuku. Aku tak
mampu berkata-kata. Aku sendiri bingung dengan perasaan yang berkecamuk di
dadaku. Apa ku harus marah pada sahabatku? Atau apa? Aku harus bagaimana? Aku
tak tahu.
“Nggak, Tha… nggak,….” Ku tarik tubuhnya dari dekapanku.
“Pramana,…??” ujarnya pelan. Meluncur lagi bulir-bulir
bening dari kedua pelupuk matanya.
“Nggak, Tha…. Nggak ada yang perlu dimaafin. J” ku rasakan
dingin pipinya saat ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. “Emang
tadi kamu kemana?”
“Emm,… anu… ee… er… tt..taadi…”
“Tadi kenapa?” potongku sambil menariknya untuk duduk di
rumah pohon kami.
“Tha, tadi kenapa?” ku ulang pertanyaanku sesampainya kami
di atas (di rumah pohon)
“Tadi,….. jam di rumahku mati. Ya, jamnya mati. Jadi aku
nggak tau kalau uda jam 9 lewat. Sori yah,…”
“kenapa nggak bales sms ku? Toh kamu juga bisa lihat jam
yang ada di hape kamu kan?”
“Em, hapeku mati. Batrey.nya habis. Sori…”
“Trus, jam di rumah kamu kan nggak cuma satu kan, Tha?”
“Iya sih, Cuma nggak tahu tuh… pada rusak berjamaah. Tadi
papa juga telat pergi ke kantor. Trus mama juga—“
“iya iya. Aku ngerti kok. Nggak usahpanjang-panjang
ceritanya. Bawel!!”
“Dasar kamu!! Masih aja ya nyebelin.”
“Emang kamu ngapain
ngajak ketemuan? Mau traktir nih?”
“Iih, nih orang. Doyan banget ama yang gratisan. Emang kamu
lupa ya?”
“lupa?”
“hari ini kan genap enam tahun kita sahabatan. Pikun banget
sih kamu!!”
“O.” jawabku sekenanya.
“Sumpah ya, kamu itu,….. awas kamu, Pram…!!!” protesnya
sambil memukul ku gemas.
“Tentu aku nggak lupa, Tha. Dan aku seneng kamu juga nggak
lupa”, batinku.
. . . . .
Kami habiskan seharian untuk mengulang segala cerita akan
kenangan yang telah kami jalani bersama. Segala protes ia ajukan atas
keisenganku selama ini. Dengan riang ia bercerita dan tentunya dengan senyumnya
yang tak pernah hilang. Selalu hadir seperti biasanya. Senyumnya indah, meski
harus hadir di wajahnya yang selalu pucat. Sejak awal kami bertemu, memang ia
tampak pucat. Awalnya aku mengira dia mayat hidup, tapi…. Aku ragu akan ada
mayat hidup yang bawel dan super cerewet seperti dia. Dia tergolong anak
tertutup. Jarang keluar rumah. Orangtuanya super protektif terhadapnya,meski
kini ia sudah duduk di kelas XII SMA. Tapi, aku tahu Pritha bukan anak manja.
Aku juga yakin, orangtua Pritha pasti punya alasan kuat untuk bertindak
protektif terhadapnya hingga detik ini.
Mungkin, karena dia anak perempuan satu-satunya,….
“Tha,…”
“Apa?”
“Kamu janji nggak bakal kaya tadi ya?”
“Maksud lo? ” jawabnya terheran-heran akan sikapku.
“Dasar oneng ya!! Gue tuh coba bersikap perhatian dan
romantis sama lo!! Respon yang agak bagus dikit kek!!” protesku.
Dia hanya nyengir
dan kembangkan sebuah senyuman di wajahnya kemudian. “Pram, kamu mau janji
sesuatu sama aku?”
“Apa’an?”
Dia menatapku lekat-lekat. Tampak sebuah rahasia tersimpan
dalam dirinya. Sesuatu yang sengaja disembunyikan dariku olehnya. Ditariknya
napas panjang, dihembuskannya perlahan kemudian.
“Kalau nanti aku nggak bisa lama-lama ada sama kamu, ataupun
nggak bisa lagi main bareng kamu, kamu jangan marah sama aku yah, kamu—“
“Kamu ngomong apa sih?” potongku cepat. Kata- katanya sangat
tak ku mengerti. Bahkan aku merasa aku membenci untuk mengerti kata-kata yang
baru saja ia ucapkan.
“Dengerin dulu…., Pram”
“Bodo amat!!” jawabku sekenanya.
“Pramana,…” rengeknya.
“Udah sore, yuk pulang. Aku anter”
“Tapi,…”
“Udah, Aku nggak mau Tante Vivi entar ngomel-ngomel ama
aku…”
“Pram,…”
“Udah. Ayo!!..” paksaku sambil menarik tangannya yang makin
terasa dingin.
*****
26 Desember 2011
“Nak, Pramana….” Suara tante Vivi lembut menyapaku.
Membangunkanku akan lelap.
“Udah malem, Sayang. Kamu pulang gih. Besok kamu harus
kuliah kan? Bidang kedokteran bukan hal mudah, Sayang”
“Iya sih, Tan. Tapi… Pritha kan….”
“Kan ada tante disini. Besok masih ada hari, kamu kan bisa
ke sini lagi?”
“Ya udah tante, Pramana pulang dulu. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, Sayang”
Suasana kota Bandung makin ramai. Kerlap-kerlip lampu kota
beradu indah di pinggiran jalan protocol utama. Suasana berbeda sungguh terasa
saat aku melangkah keluar dari gedung rumah sakit yang serba putih. Ku teruskan
langkahku ke gerbang utama rumah sakit. Ku hentikan sebuah taksi. Ku komando
sang sopir untuk bergegas menuju ke rumah karena hari makin larut, aku tak
ingin membuat mama khawatir akan aku. Dalam taksi teralun lagu “Seven Years Of
Love” . Sebuah lagu yang kembali membangkitkan ingatanku akan kenangan bersama
Pritha dulu. Saat dimana aku bisa melihat senyumnya yang menenangkan. Teringat
olehku, bahwa tepat 3 hari lagi pada setahun lalu adalah hari dimana aku dan
Pritha sempat kembali mengukir janji. Pritha, aku yakin kamu tak akan pernah
melupakan janji kita itu.
*****
29 Desember 2010
“Kak, ini lagu apa?” tanya Pritha sesampainya kami dalam
mobil.
“Pak Maman jalan yah. Udah sore nih, kasian Pritha”
“Iya, Den” jawab Pak Maman,sopir pribadi keluargaku, patuh.
“Ih, Pramana. Jawab dong. Ini lagu apa?”
“Iya. Iya. Nyantai aja kali”
“Jadi?”
“. . .” K
“Dasar!! Mending tanya Pak Maman aja. Pak, ini lagu judulnya
apa’an yah?”
“Maaf, Non. Pak Maman nggak tahu lagu bule kaya beginian.”
Jawab Pak Maman terlalu jujur.
“Emang kenapa sih, Tha?”
“Aku suka ajah. Nggak boleh?”
“Suka lagunya atau penyanyinya?”
“Yee,… “
“Ini lagu judulnya, Seven Years of Love” jelasku
“Kok tahu?”
“Ya tahu lah. Ini lagu kesukaannya Findha. Dulu dia suka
banget ama penyayinya. Jadi dia ngoleksi album plus posternya. Dan ini salah
satu lagunya”.
“Oh. Maaf kalau aku
jadi harus ngungkit-ngungkit masalah Findha. Aku..—“
“Nggak apa. Nyantai aja. :)” potongku kemudian.
“Tahun depan, aku harap kita bisa main-main lagi kaya tadi.
Tahun ketujuh persahabatan kita. Dan pastinya terus berlanjut sampe tahun-tahun
persahabatan kita berikutnya.”
“Kamu kenapa sih? Pastinya lah kita bisa terus temenan. Kita
masih punya banyak waktu, Tha. Kamu kenapa sih?”
Ia hanya diam. Keheningannya semakin membuatku penasaran
akan apa yang terjadi pada diri Pritha. Sebenarnya apa yang disembunyikan
olehnya? Oh, Pritha. . . .
“Janji?” ucap Pritha sambil mengangkat kelingkingnya.
“Untuk?” tanya ku keheranan.
“Tetaplah menjadi sahabatku dan tetaplah berada di samping
dan—“
“Janji” ucapku memotong perkataanya. Ku kaitlan kelingkingku
pada kelingkingnya kemudian.
*****
Mei 2011
Ujian sekolah telah usai. Namun, aku beserta kawan-kawan
lainnya masih belum benar-benar merasa merdeka. Kami masih harus berjuang dan
bersaing untuk dapat masuk perguruan tinggi yang kami inginkan. Dan kurang
seminggu ke depan merupakan hari dimana hajat akbar di sekolah kami akan
dilaksanakan, Hari Perpisahan. Hampir semua siswa antusias dalam hal ini.
Berharap ini merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengukir sebuah kenangan
terindah yang ada. Namun harapan itu seakan jauh berbeda akan keadaan yang terjadi
belakangan ini. Pritha tiba-tiba menghilang. Tiada sedikitpun kabar darinya. Ia
seakan hilang ditelan sang bumi.
Tak hanya sekali aku menghubungi ponselnya, namun tetap
tiada jawaban. Tak hanya satu dua pesan yang ku kirim padanya, namun tak
satupun yang dibalas. Aku coba mengirim pesan padanya melalui dunia maya, tetap
tak ada respon. Hingga hari ini, sepulang sekolah, ku putuskan untuk mendatangi
rumah Pritha.
Ting tong
Ting tong
Tak ada jawaban. Kali ini adalah panggilan terakhir dariku.
Sebagaimana adab yang ada, jika sang pemilik rumah sudah dipanggil 3 kali dan
ia tak kunjung menyambut. Maka sebaiknya kita pulang, karena mungkin sang tuan
rumah sedang sibuk atau ada suatu kepentingan, atau saja ia sedang tidak mau
diganggu.
Ting tong. . .
Bel terakhir telah aku bunyikan. Berharap kali ini
benar-benar mendapat jawaban.
Satu menit…. Dua menit…
“Maaf, Den. Cari siapa?” seorang wanita paruh baya
berpakaian sederhana menyambutku. Beliau Bi Imah, pembantu di rumah Pritha.
“Pritha ada, Bi?”
“Em… anu, Den… Emm—“
“Kenapa, Bi? Pritha baik-baik aja kan?” sergapku kemudian.
“Aden ndak tahu toh?”
“Tahu apa. Bi?”
“Non Pritha kan lagi keluar kota sama Tuan dan Nyonya”
“Apa? Kok Pritha nggak pamit ama aku, Bi? Pritha baik-baik
aja kan?”
“Em,,, anu, Den.. Bibi… ndak tahu” jawab Bi Imah ragu-ragu.
“Bibi nggak bohong kan?”sergapku pada Bi Imah. Aku merasa
ada sesuatu yang mengganjal akan kepergian Pritha dan keluarganya
“Nn…nndak kok, Den. Bener” jawab Bi Imah dengan suara pelan.
“Yaudahlah, Bi. Pramana pulang dulu. Nanti kalau mereka udah
pulang, bilang yah aku kesini nyari Pritha” ucapku pasrah kemudian.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
****
Hening masih ada. Berputar-putar di antara kami. Aku, Pak
Arif, guru Biologiku, dan Pak Sucipto, Kepala Sekolah. Aku masih terus
bertanya-tanya akan alasan mengapa aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Hal
penting apa yang akan dibicarakan beliau denganku? Kabar baik atau kabar buruk?
Dua menit sudah pertanyaan itu berputar-putar di otakku. Dan dalam waktu dua
menit pula, aku serasa akan mati tercekik rasa penasaran.
“Ehem.. ehem…” Pak Kepala sekolah berdehem, tanda beliau
akan memulai pembicaraan.
Pak Arief tampak menggut-manggut, tanda beliau siap untuk
mendengarkan setiap kata yang akan keluar dari Pak Sucipto.
‘Dag.. dig… dug.. dyar!!’ detak jantungku berdetak kencang,
tanda aku siap untuk menerima segala kabar baik yang ada, juga sebagai tanda
bahwa aku tidak siap menerima kabar buruk yang ada.
“Begini, Nak Pramana……” beliau memulai pembicaraan. “apa
kamu sudah mendaftar untuk jenjang berikutnya di salah satu universitas?”
“I..ii..iya, Pak”
Pak Sucipto hanya manggut-manggut. Perlahan aku mulai berani
mengangkat kepalaku. Ku tatap lekat-lekat kepala botak beliau yang terlihat
berkilau di bawah sinar lampu TL.
“Selamat ya, Nak…” Pak Arief tiba-tiba angkat bicara. “Kamu
mendapat tawaran program beasiswa di alah satu universitas terkemuka, dan—“
“Beneran, Pak!!” sambungku cepat, tak perduli Pak Arief
sudah menyelesaikan kalimatnya atau belum. Yang penting hepi ajalah J. “Wah
makasih nih, Pak…” ku raih tangan Pak Sucipto dan Pak Arief, dan ku cium
punggung tangan beliau berdua bergantian.
“Iya ya , Nak…. Selamat untuk kamu” ucap Pak Sucipto penih
wibawa.
“Ada masalah, Pak?”
“Begini, Nak… pihak universitas te;ah melihat hasil belajar
kamu selama bersekolah di SMA ini…”
“Dan?”sahutku tak sabar.
“Mereka menawarimu untuk masuk dalam bidang kedokteran. Apa
kamu berminat untuk masuk dalam bidang itu? Asal kamu tahu, Nak. Bapak sangat
mendukung jika kamu masuk dalam bidang itu”
“Begitu pula dengan Bapak, Pramana. Bapak sangat mendukung
tawaran itu. Ini kesempatan emas buatmu, Nak…” tambah Pak Sucipto.
“Biar saya pikirkan dahulu, Pak” jawabku sekenanya.
“Baik baik… bapak beri kamu waktu sampai awal bulan depan”
“Terimaksih, Pak”
“Sekarang kamu bisa kembali, Nak”
“Permisi, Pak..”
*****
Oleh :
Aisyah Wulansari Rahajeng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar