Senin, 08 Oktober 2012

Penaluna


[Lanjutan]
Sore itu Jeff mengajakku keluar rumah hingga malam. Tentu saja untuk menghiburku. Dia membawaku ke pasar malam di pinggiran Jakarta. Wahana bermain anak-anak yang sederhana, penjual mainan, permen kapas, lampu-lampu malam, anak-anak kecil dan tawa mereka. Semuanya membuatku merasa lebih baik. Membuatku merasa seperti anak kecil lagi, saat aku bebas bermimpi seperti kupu-kupu yang bebas terbang dan selalu merasa semuanya begitu mudah untuk diraih.


  

Mobil Papa berhenti di depan sekolah. Aku mencium pipi Papa dan langsung keluar mobil untuk menghampiri Kesly dan Manda yang sudah berdiri di depan gerbang. Mereka selalu menungguku disana setiap pagi sambil duduk-duduk di bangku bawah pohon depan sekolah.

“Hey, you guys!” Sapaku dengan senyum ceria sembari menarik mereka melewati gerbang sekolah. Kedua sahabatku itu langsung menyerbuku dengan pertanyaan.

“Beneran Lun, Emma yang dari SMA 23 yang menang? Kok gue baru tau, loe ngga bilang-bilang.” Manda dengan wajah penuh penasarannya.

“Iya, sengaja ngga gue sebarin. Gue malu.” Jawabku datar.

“Tuh ‘kan Lun, Teen Movie Maker itu audisi yang susah banget. Hadiahnya aja ngga tanggung-tanggung: langsung dapet project dan ikutan gabung bareng sutradara-sutradara terkenal di berbagai seminar! Gila aja.” Kesly menarik tangan kananku dan membuat beberapa bendel kertas tugas yang kupegang jatuh. “Eh.. maaf, Lun. Gue ngga sengaja. Maaf banget.”

Aku tersenyum kecut, sementara Kesly memungut naskah yang berserakan di tanah. “Udah ngga apa-apa, Kes. Sini kertasnya. Jalan ke kelas, yuk.”

Kelas masih sepi. Sepertinya kami bertiga berangkat terlalu pagi. Aku memerhatikan anak-anak kelas sepuluh dan sebelas lalu lalang di depan kelasku, mereka berteriak pada anak-anak kelas duabelas dengan senyum mengembang di wajah mereka: “Pagi, kak” “Have a nice day, kak.”. Terasa baru kemarin aku seperti mereka, kesana kemari untuk menyapa kakak kelas yang paling senior. Itu semacam tradisi sekolahku setiap pagi. Konyol memang. Tapi hal itu yang akan selalu membuatku merindukan masa-masa SMA.

Aku masih tenggelam dalam pikiraanku sendiri hingga aku teringat sesuatu. Aku langsung mengecek tas. Dan benar saja setelah seisi tas aku acak-acak, aku ngga menemukannya. CD film pendek gue hilang! Gue yakin gue masukin ke dalam tas kemarin. Haduh bego banget gue sampe hilang gini. Kalo ilang, ya mati gue. Aku buru-buru menelpon rumah untuk menanyakan CD itu ke Bi Sami, mungkin saja dia melihatnya di kamarku. Tapi kata Bi Sami dia ngga melihatnya. Haduh mati gue bisa mati!

“Kenapa, Lun? Kok muka loe aneh gitu?” Kesly yang duduk di sebelahku nyeplos.

“Ada yang hilang. Haduh bego banget gue.”

“Apaan yang hilang, Luna Lalunna?”

“Eh, ngga apa-apa kok. Barang ngga penting he-he.” Aku nyengir. Kayaknya emang ngga usah dicari deh. Seinget gue, masih ada back-up nya di rumah. Semoga aja ngga ditemuin orang iseng.

Aku berpikir keras. Kira-kira siapa yang menemukan CD film pendekku itu? Pencari bakat atau juri Teen Movie Maker yang akhirnya menyadari bakatku dan memberiku kesempatan kedua untuk jadi juara? Aku tertawa kecil. Aku menertawai kekonyolanku. Kesly yang duduk sebangku denganku memandangiku aneh, tapi dia tahu bagaimana aku saat bertingkah aneh, terutama saat aku tertawa sendiri tanpa alasan, benar-benar seperti orang aneh. Dia membiarkanku lalu kembali sibuk dengan buku tugas matematikanya.

Jauh dari perkiraanku, bukan pencari bakat atau juri Teen Movie Maker yang menemukan CD itu, tapi Ivan. Dia salah satu anak populer di sekolah, dia juga super tajir, orangtuanya bukan orang sembarangan. Aku ngga pernah kenal dia, bahkan ngobrol sekalipun engga. Tiba-tiba dia menghampiri mejaku saat aku masih berkutat dengan PR matematika yang belum sempat aku kerjakan semalam—sangat realita anak SMA—. Tangannya mengulurkan sebuah formulir pendaftaran dengan kop bertuliskan Vancouver Film School.

“Luna Lalunna Penaluna, loe jatuhin CD loe di depan ruang OSIS kemarin dan gue temuin. Demi apa film pendek loe keren banget! Bener-bener ngga nyangka gue. Gue rasa loe cocok masuk ke Sekolah ini. Bokap gue yang rekomendasiin.” Ivan tersenyum padaku. Aku melongo, begitupun Kesly yang langsung menyerobot formulir itu dari tangan Ivan.

“A-apa? Bokap loe? Gimana bisa? Maksud gue, loe bahkan ngga kenal gue, iya kan? Kok bisa?”

“Banyak nanya nih loe, Lun. Udah ini terima aja formulirnya. Juga lampirin CD loe ini. Terus kirim ke alamat yang ada di kop. Gue yakin loe ngga cuman diterima, beasiswa bahkan udah nunggu elo. Bentar lagi 'kan kita juga udah lulus, jadi loe bebas nglanjutin dimana aja.” Cetus Ivan sambil menyodorkan CD film pendekku.

“Loe serius?” Aku masih memandangnya heran.

“Bokap gue nonton film pendek loe. Gue sih yang ngajak dia buat nonton. Gue juga kenal loe. Luna Lalunna Penaluna, si cewe cantik yang gue taksir dari kelas satu, tapi sayang udah punya pacar. Btw, good luck, ya. Kabarin gue berita baiknya.” Ivan nyelonong pergi dengan tawa di wajahnya. Luna Lalunna Penaluna, si cewe cantik yang gue taksir dari kelas satu, tapi sayang udah punya pacar. Aku bengong, ngga bisa ngomong apapun. Vancouver Film School? Bahkan lebih hebat dari hadiah Teen Movie Maker!

Kesly melambaikan tangannya di depanku. “Penaluna, loe masih hidup, ‘kan?”







Beberapa bulan kemudian..



Jeff, Mama, Papa, Kesly, Manda, dan Ivan. Satu-persatu dari mereka memberiku pelukan perpisahan. Pesawat berangkat lima menit lagi. Iya, aku dapat beasiswa di Vancouver, Amerika itu dan berangkat lima belas menit lagi, tepat lima belas menit lagi. Ngga ada lagi yang memaksaku untuk jadi dokter, ngga ada lagi yang meremehkanku karena paling tidak aku seudah membukitikan kemampuanku pada mereka. Aku bisa meraih apa yang aku impikan. Yah, belum jadi sutradara hebat juga, sih. Tapi ini sebuah pijakan awal. Selama ini aku jadi orang aneh, terlalu terobsesi, semuanya karena aku ingin meraih apa yang aku inginkan. Ada yang salah dengan bermimpi? Semua orang bebas bermimpi. Semuanya berawal dari mimpi. Ngga ada yang bisa mengendalikan masa depan kita selain diri kita sendiri, bukan orang lain. Terkadang kabar baik juga datang dari orang yang sama sekali ngga terduga, dari orang yang bahkan ngga terlintas di pikiran. Ivan si anak populer yang entah gimana sekarang jadi salah satu sahabatku. Dia sangat berjasa bagiku. Suatu saat aku akan membalasanya. Hmm.. dan tentang Jeff, dia yang akan selalu di sisiku. Dia berarti segalanya. Dia belahan jiwaku.

Aku berjalan meninggalkan orang-orang yang kusayangi. Tentu saja meninggalkan mereka untuk sementara. Kulihat mereka tersenyum padaku. Senyum ceria mereka. Senyum dengan rasa bangga mereka. Mereka melambaikan tangan padaku, mulut mereka bergumam dan aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi aku percaya mereka mengatakan ‘Kami mencintaimu, Lun’.

Luna Lalunna Penaluna. Well, ini bukan akhir, tapi permulaan dari sebuah akhir.

Oleh : 
Annisa Widyawati


Tidak ada komentar:

Posting Komentar