[Lanjutan]
Sore itu Jeff mengajakku keluar rumah hingga malam. Tentu
saja untuk menghiburku. Dia membawaku ke pasar malam di pinggiran Jakarta.
Wahana bermain anak-anak yang sederhana, penjual mainan, permen kapas,
lampu-lampu malam, anak-anak kecil dan tawa mereka. Semuanya membuatku merasa
lebih baik. Membuatku merasa seperti anak kecil lagi, saat aku bebas bermimpi
seperti kupu-kupu yang bebas terbang dan selalu merasa semuanya begitu mudah
untuk diraih.
Mobil Papa berhenti di depan sekolah. Aku mencium pipi Papa
dan langsung keluar mobil untuk menghampiri Kesly dan Manda yang sudah berdiri
di depan gerbang. Mereka selalu menungguku disana setiap pagi sambil
duduk-duduk di bangku bawah pohon depan sekolah.
“Hey, you guys!” Sapaku dengan senyum ceria sembari menarik
mereka melewati gerbang sekolah. Kedua sahabatku itu langsung menyerbuku dengan
pertanyaan.
“Beneran Lun, Emma yang dari SMA 23 yang menang? Kok gue
baru tau, loe ngga bilang-bilang.” Manda dengan wajah penuh penasarannya.
“Iya, sengaja ngga gue sebarin. Gue malu.” Jawabku datar.
“Tuh ‘kan Lun, Teen Movie Maker itu audisi yang susah
banget. Hadiahnya aja ngga tanggung-tanggung: langsung dapet project dan ikutan
gabung bareng sutradara-sutradara terkenal di berbagai seminar! Gila aja.”
Kesly menarik tangan kananku dan membuat beberapa bendel kertas tugas yang
kupegang jatuh. “Eh.. maaf, Lun. Gue ngga sengaja. Maaf banget.”
Aku tersenyum kecut, sementara Kesly memungut naskah yang
berserakan di tanah. “Udah ngga apa-apa, Kes. Sini kertasnya. Jalan ke kelas,
yuk.”
Kelas masih sepi. Sepertinya kami bertiga berangkat terlalu
pagi. Aku memerhatikan anak-anak kelas sepuluh dan sebelas lalu lalang di depan
kelasku, mereka berteriak pada anak-anak kelas duabelas dengan senyum
mengembang di wajah mereka: “Pagi, kak” “Have a nice day, kak.”. Terasa baru
kemarin aku seperti mereka, kesana kemari untuk menyapa kakak kelas yang paling
senior. Itu semacam tradisi sekolahku setiap pagi. Konyol memang. Tapi hal itu
yang akan selalu membuatku merindukan masa-masa SMA.
Aku masih tenggelam dalam pikiraanku sendiri hingga aku
teringat sesuatu. Aku langsung mengecek tas. Dan benar saja setelah seisi tas
aku acak-acak, aku ngga menemukannya. CD film pendek gue hilang! Gue yakin gue
masukin ke dalam tas kemarin. Haduh bego banget gue sampe hilang gini. Kalo
ilang, ya mati gue. Aku buru-buru menelpon rumah untuk menanyakan CD itu ke Bi
Sami, mungkin saja dia melihatnya di kamarku. Tapi kata Bi Sami dia ngga
melihatnya. Haduh mati gue bisa mati!
“Kenapa, Lun? Kok muka loe aneh gitu?” Kesly yang duduk di
sebelahku nyeplos.
“Ada yang hilang. Haduh bego banget gue.”
“Apaan yang hilang, Luna Lalunna?”
“Eh, ngga apa-apa kok. Barang ngga penting he-he.” Aku
nyengir. Kayaknya emang ngga usah dicari deh. Seinget gue, masih ada back-up
nya di rumah. Semoga aja ngga ditemuin orang iseng.
Aku berpikir keras. Kira-kira siapa yang menemukan CD film
pendekku itu? Pencari bakat atau juri Teen Movie Maker yang akhirnya menyadari
bakatku dan memberiku kesempatan kedua untuk jadi juara? Aku tertawa kecil. Aku
menertawai kekonyolanku. Kesly yang duduk sebangku denganku memandangiku aneh,
tapi dia tahu bagaimana aku saat bertingkah aneh, terutama saat aku tertawa
sendiri tanpa alasan, benar-benar seperti orang aneh. Dia membiarkanku lalu
kembali sibuk dengan buku tugas matematikanya.
Jauh dari perkiraanku, bukan pencari bakat atau juri Teen
Movie Maker yang menemukan CD itu, tapi Ivan. Dia salah satu anak populer di
sekolah, dia juga super tajir, orangtuanya bukan orang sembarangan. Aku ngga
pernah kenal dia, bahkan ngobrol sekalipun engga. Tiba-tiba dia menghampiri
mejaku saat aku masih berkutat dengan PR matematika yang belum sempat aku
kerjakan semalam—sangat realita anak SMA—. Tangannya mengulurkan sebuah
formulir pendaftaran dengan kop bertuliskan Vancouver Film School.
“Luna Lalunna Penaluna, loe jatuhin CD loe di depan ruang
OSIS kemarin dan gue temuin. Demi apa film pendek loe keren banget! Bener-bener
ngga nyangka gue. Gue rasa loe cocok masuk ke Sekolah ini. Bokap gue yang
rekomendasiin.” Ivan tersenyum padaku. Aku melongo, begitupun Kesly yang
langsung menyerobot formulir itu dari tangan Ivan.
“A-apa? Bokap loe? Gimana bisa? Maksud gue, loe bahkan ngga
kenal gue, iya kan? Kok bisa?”
“Banyak nanya nih loe, Lun. Udah ini terima aja formulirnya.
Juga lampirin CD loe ini. Terus kirim ke alamat yang ada di kop. Gue yakin loe
ngga cuman diterima, beasiswa bahkan udah nunggu elo. Bentar lagi 'kan kita
juga udah lulus, jadi loe bebas nglanjutin dimana aja.” Cetus Ivan sambil
menyodorkan CD film pendekku.
“Loe serius?” Aku masih memandangnya heran.
“Bokap gue nonton film pendek loe. Gue sih yang ngajak dia
buat nonton. Gue juga kenal loe. Luna Lalunna Penaluna, si cewe cantik yang gue
taksir dari kelas satu, tapi sayang udah punya pacar. Btw, good luck, ya.
Kabarin gue berita baiknya.” Ivan nyelonong pergi dengan tawa di wajahnya. Luna
Lalunna Penaluna, si cewe cantik yang gue taksir dari kelas satu, tapi sayang
udah punya pacar. Aku bengong, ngga bisa ngomong apapun. Vancouver Film School?
Bahkan lebih hebat dari hadiah Teen Movie Maker!
Kesly melambaikan tangannya di depanku. “Penaluna, loe masih
hidup, ‘kan?”
Beberapa bulan kemudian..
Jeff, Mama, Papa, Kesly, Manda, dan Ivan. Satu-persatu dari
mereka memberiku pelukan perpisahan. Pesawat berangkat lima menit lagi. Iya,
aku dapat beasiswa di Vancouver, Amerika itu dan berangkat lima belas menit
lagi, tepat lima belas menit lagi. Ngga ada lagi yang memaksaku untuk jadi
dokter, ngga ada lagi yang meremehkanku karena paling tidak aku seudah
membukitikan kemampuanku pada mereka. Aku bisa meraih apa yang aku impikan.
Yah, belum jadi sutradara hebat juga, sih. Tapi ini sebuah pijakan awal. Selama
ini aku jadi orang aneh, terlalu terobsesi, semuanya karena aku ingin meraih
apa yang aku inginkan. Ada yang salah dengan bermimpi? Semua orang bebas
bermimpi. Semuanya berawal dari mimpi. Ngga ada yang bisa mengendalikan masa
depan kita selain diri kita sendiri, bukan orang lain. Terkadang kabar baik
juga datang dari orang yang sama sekali ngga terduga, dari orang yang bahkan
ngga terlintas di pikiran. Ivan si anak populer yang entah gimana sekarang jadi
salah satu sahabatku. Dia sangat berjasa bagiku. Suatu saat aku akan
membalasanya. Hmm.. dan tentang Jeff, dia yang akan selalu di sisiku. Dia
berarti segalanya. Dia belahan jiwaku.
Aku berjalan meninggalkan orang-orang yang kusayangi. Tentu
saja meninggalkan mereka untuk sementara. Kulihat mereka tersenyum padaku.
Senyum ceria mereka. Senyum dengan rasa bangga mereka. Mereka melambaikan
tangan padaku, mulut mereka bergumam dan aku sama sekali tidak mengerti apa
yang mereka katakan. Tapi aku percaya mereka mengatakan ‘Kami mencintaimu,
Lun’.
Luna Lalunna Penaluna. Well, ini bukan akhir, tapi permulaan
dari sebuah akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar