Senin, 08 Oktober 2012

penaluna


 Aku bersandar di dinding dapur. Ini sudah hampir setengah jam tapi Mama ngga juga berhenti mengoceh. Aku muak. Aku benar-benar muak dengan semua perkataan Mama. Banyak hal yang Mama ngga tahu tentang aku. Mama cuma mengenal dan menilai aku berdasarkan apa yang dia lihat. Dia ngga tau apa-apa tentang aku.

“Kamu itu rasioal sedikit lah, Luna. Mau jadi apa kamu dengan mimpi-mimpi kamu itu? Papa dan Mama pingin kamu jadi dokter. Titik. Mimpi itu ya mimpi, ngga akan untuk jadi nyata. Ngerti kamu?” Kata Mama tanpa memandangku.

“Terserah deh, Ma. Mama ngga tahu apa-apa.” Balasku sambil berjalan pergi meninggalkan Mama. Perasaanku campur aduk. Banyak hal yang membuatku down saat ini. Di sekolah, di rumah, semua orang. Kepalaku terasa sangat berat. Aku masih ngga percaya Emma yang lolos audisi Teen Movie Maker. Emma si cewe centil dari SMA 23 yang aku temui di tempat audisi. Sepertinya dia sama sekali ngga punya kemampuan untuk jadi sutradara. Mungkin dia hanya bisa memegang alat make-up. Aku yang selama ini berjuang untuk lolos audisi itu. Aku yang setiap hari terus berlatih. Aku yang setiap saat bermimpi untuk jadi sutradara. Aku yang selama ini kerja keras belajar segala hal. Aku selama ini yang berjuang. Bukan dia, bukan Emma. Dia ngga tahu apa-apa tentang bagaimana membuat film. Dia ngga tahu apa-apa. Aku yang tahu. Aku yang selama ini mimpi untuk lolos audisi itu. Aku!

Aku membaringkan tubuhku di tempat tidur. Kamar adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa sendiri. Aku ingin menghilangkan semua kekecewaan dan rasa bersalah pada diriku sendiri. Apa salah aku ngga mau jadi dokter? Apa salah aku punya impian sendiri? Apa salah aku ingin meraih semua hal yang selama ini aku inginkan? Semua orang meremehkanku, bahkan orang tua dan sahabatku. Semua orang, tapi ngga dengan Jeff. Dia laki-laki yang selama ini mendampingiku. Dia ngga pernah meremehkanku. Dia selalu disampingku.

Tiba-tiba ponselku berbunyi.. Jeff Menelpon.

“Halo Jeff.” Sapaku ramah.

“Kamu lagi dimana, sayang? Aku cari kamu di sekolah, ternyata kamu udah pulang.” Mendengar suaranya membuatku merasa lebih baik.

“Aku di rumah.”

“Kenapa suara kamu lemes gitu? Kamu lagi nangis ya? Ada apa?”

“Eh engga kok, sayang. Aku ngga nangis. Cuman lagi kecewa aja.”

“Karena audisi Teen Movie Maker itu?”

“Iya..”

“Aku ke rumah kamu sekarang ya. Aku pingin bikin kamu senyum lagi.”

“Ada Mama di rumah, Jeff.”

“Mama kamu ngga akan apa-apa kalau aku yang datang.”

“Iya deh.”

“Tunggu ya, princess..” Jeff menutup telepon.

Aku mengambil sebendel kertas dari dalam tas. Beberapa lembar kertas ini adalah naskah film pendekku. Sebuah film pendek yang aku buat susah payah. Tapi semuanya sepertinya sudah berakhir. Padahal lewat audisi Teen Movie Maker lah satu-satunya jalanku meraih semuanya. Sutradara terkenal. Gue benar-benar menginginkannya. Aku menggumam dalam hati, seperti biasanya. Ngga sengaja aku menjatuhkan tas disampingku dan membuat isinya berceceran di lantai. Semua barang-barang gue hari ini, gila banyak banget, mungkin gue bakalan kaya kalau tiap hari dapet bayaran buat bawa semua school stuffs ini. Aku memerhatikan sebuah buku berjudul ‘Dream Big’ diantara buku-buku sekolahku. Buku tentang motivasi dengan sampul bergambar balon warna-warni. Buku pemberian Manda, untuk memberiku inspirasi, katanya. Yah, kurasa dia mulai menyemangatiku. Aku meraih buku itu. Satu persatu halaman aku buka dengan tidak acuh. Aku terlalu malas membacanya. Kurasa menonton film jauh lebih menyenangkan daripada membaca buku. Aku mendengus. Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah halaman. Halaman 14, kalimat yang dikutip dari Woodrow Wilson.

“Semua orang adalah pemimpi. Mereka melihat segalanya bagaikan kabut lembayung pada musim semi, atau sebagai api yang membakar pada malam musim dingin. Beberapa dari kita membiarkan suatu impian mati, namun yang lain memupuk dan melindunginya, merawatnya dalam hari-hari buruk hingga membawanya ke sinar matahari dan juga cahaya yang selalu menghampiri mereka yang selalu berharap impiannya akan menjadi nyata. Semua yang Anda impikan, Anda inginkan dan Anda harapkan, akan dapat Anda raih jika Anda memiliki kekuatan untuk bertahan, jika Anda dapat tetap terfokus pada tujuan Anda dengan intensitas yang cukup dan dengan satu tujuan.”

Aku bengong. Ini kata-kata terindah yang pernah kubaca. Mungkin buku itu dikirim Tuhan padaku sebagai perwujudan dari malaikat. Aku tertawa sendiri. Buku ini adalah malaikat yang dikirim Tuhan? Kalau begitu, buku ini pasti punya sayap tersembunyi. Aku pasti sudah gila. Makin hari, otak gue semakin kacau. Berasa apa kalik gue kalau kayak gini terus. Ha-ha. Aku membaringkan tubuhku lagi dan buku itu kuletakkan di atas dadaku, mencoba meresapi semua kata-kata tadi. Aku bisa, ya, aku bisa meraih apa yang aku inginkan. Tuhan selalu memberi jalan.



Ponselku berdering..

Ternyata aku tertidur tadi. Jeff pasti sudah sampai dan sedang berusaha menelponku. Benar, Jeff menelpon. Aku melempar ponselku ke meja dan segera berlari menuju ruang tamu. Jeff sudah duduk disana dan tersenyum manis padaku. Aku membalas dengan senyuman riang dan menghampirinya. Aku langsung memeluknya. Aku bisa mencium wangi parfum Drakkar, parfum yang sangat dia sukai.

“Luna, aku tadi ngga ingin bangunin kamu. Jadi aku telpon aja biar kamu bangun sendiri.” Kata Jeff sambil tertawa.

“Itu sama aja bangunin aku. Dasar. Tapi maaf ya aku ketiduran.” Aku merapikan kemeja Jeff. Dia tampan hari ini. Dia juga terlihat sangat dewasa, mungkin karena dia lebih tua dua tahun dariku sehingga aku sering melongo melihat gaya berpakaiannya yang berbeda dari anak seumuranku. “Mama ngga bangunin aku. Harusnya Mama bangunin aku.”

“Mama kamu ngga di rumah kok.”

“Loh? Tadi Mama di rumah.”

“Kata Bi Sami, Mama kamu lagi nyetorin tulisannya ke penerbit.”

“Oh.. emang dasar penulis ya ke penerbit terus kerjaannya.” Kataku ketus.

“Karena itu ‘kan nama kamu Penaluna. Mama kamu penulis dan juga pelukis, seniman dehpokoknya. Pena dan Luna. Penaluna Windy Arzen. ” Jeff mencubit pipiku.

“Tapi kalo Papa itu ‘kan investor. Berarti harusnya nama tengahku Investasi.”

Jeff tertawa terbahak-bahak. “Penaluna Investasi. Nama kamu keren banget!”

Aku memandang wajah Jeff. Cara tertawanya yang begitu lepas dan juga mata coklatnya. Aku suka kedua mata coklat itu. Jeffri Raditya, aku sudah pacaran dengannya semenjak aku di kelas tiga SMP, sekitar tiga tahun yang lalu. Dia begitu berarti bagiku.

“Oh iya, ngomong-ngomong soal audisi, semuanya bukan salah kamu, sayang. Kamu udah usaha keras selama ini buat bikin film pendek itu. Kita semua tahu kamu yang terbaik. Mungkin Emma lagi lucky aja.” Jeff meraih tanganku.

“Kita semua? Siapa yang kamu maksud kita semua? Mamaku? Papaku? Sahabatku sendiri, Kesly sama Manda? Mereka pikir aku yang terbaik untuk ini?”

“Udahlah, sayang. Kamu harus senyum. Ayo senyum..” Jeff menarik-narik kedua ujung bibirku dan membuatku tidak bisa menahan tawa. Jeff selalu membuatku tersenyum dan menjagaku. Dia segalanya. Sesuatu di dalam dirinya membuatku merasa begitu berarti. Aku sangat mencintainya. 
Bersambung...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar