“Kamu itu rasioal sedikit lah, Luna. Mau jadi apa kamu
dengan mimpi-mimpi kamu itu? Papa dan Mama pingin kamu jadi dokter. Titik.
Mimpi itu ya mimpi, ngga akan untuk jadi nyata. Ngerti kamu?” Kata Mama tanpa
memandangku.
“Terserah deh, Ma. Mama ngga tahu apa-apa.” Balasku sambil
berjalan pergi meninggalkan Mama. Perasaanku campur aduk. Banyak hal yang
membuatku down saat ini. Di sekolah, di rumah, semua orang. Kepalaku terasa
sangat berat. Aku masih ngga percaya Emma yang lolos audisi Teen Movie Maker.
Emma si cewe centil dari SMA 23 yang aku temui di tempat audisi. Sepertinya dia
sama sekali ngga punya kemampuan untuk jadi sutradara. Mungkin dia hanya bisa
memegang alat make-up. Aku yang selama ini berjuang untuk lolos audisi itu. Aku
yang setiap hari terus berlatih. Aku yang setiap saat bermimpi untuk jadi
sutradara. Aku yang selama ini kerja keras belajar segala hal. Aku selama ini
yang berjuang. Bukan dia, bukan Emma. Dia ngga tahu apa-apa tentang bagaimana
membuat film. Dia ngga tahu apa-apa. Aku yang tahu. Aku yang selama ini mimpi
untuk lolos audisi itu. Aku!
Aku membaringkan tubuhku di tempat tidur. Kamar adalah
satu-satunya tempat dimana aku bisa sendiri. Aku ingin menghilangkan semua
kekecewaan dan rasa bersalah pada diriku sendiri. Apa salah aku ngga mau jadi
dokter? Apa salah aku punya impian sendiri? Apa salah aku ingin meraih semua
hal yang selama ini aku inginkan? Semua orang meremehkanku, bahkan orang tua
dan sahabatku. Semua orang, tapi ngga dengan Jeff. Dia laki-laki yang selama
ini mendampingiku. Dia ngga pernah meremehkanku. Dia selalu disampingku.
Tiba-tiba ponselku berbunyi.. Jeff Menelpon.
“Halo Jeff.” Sapaku ramah.
“Kamu lagi dimana, sayang? Aku cari kamu di sekolah,
ternyata kamu udah pulang.” Mendengar suaranya membuatku merasa lebih baik.
“Aku di rumah.”
“Kenapa suara kamu lemes gitu? Kamu lagi nangis ya? Ada
apa?”
“Eh engga kok, sayang. Aku ngga nangis. Cuman lagi kecewa
aja.”
“Karena audisi Teen Movie Maker itu?”
“Iya..”
“Aku ke rumah kamu sekarang ya. Aku pingin bikin kamu senyum
lagi.”
“Ada Mama di rumah, Jeff.”
“Mama kamu ngga akan apa-apa kalau aku yang datang.”
“Iya deh.”
“Tunggu ya, princess..” Jeff menutup telepon.
Aku mengambil sebendel kertas dari dalam tas. Beberapa
lembar kertas ini adalah naskah film pendekku. Sebuah film pendek yang aku buat
susah payah. Tapi semuanya sepertinya sudah berakhir. Padahal lewat audisi Teen
Movie Maker lah satu-satunya jalanku meraih semuanya. Sutradara terkenal. Gue
benar-benar menginginkannya. Aku menggumam dalam hati, seperti biasanya. Ngga
sengaja aku menjatuhkan tas disampingku dan membuat isinya berceceran di lantai.
Semua barang-barang gue hari ini, gila banyak banget, mungkin gue bakalan kaya
kalau tiap hari dapet bayaran buat bawa semua school stuffs ini. Aku
memerhatikan sebuah buku berjudul ‘Dream Big’ diantara buku-buku sekolahku.
Buku tentang motivasi dengan sampul bergambar balon warna-warni. Buku pemberian
Manda, untuk memberiku inspirasi, katanya. Yah, kurasa dia mulai
menyemangatiku. Aku meraih buku itu. Satu persatu halaman aku buka dengan tidak
acuh. Aku terlalu malas membacanya. Kurasa menonton film jauh lebih
menyenangkan daripada membaca buku. Aku mendengus. Tiba-tiba mataku terpaku
pada sebuah halaman. Halaman 14, kalimat yang dikutip dari Woodrow Wilson.
“Semua orang adalah pemimpi. Mereka melihat segalanya
bagaikan kabut lembayung pada musim semi, atau sebagai api yang membakar pada
malam musim dingin. Beberapa dari kita membiarkan suatu impian mati, namun yang
lain memupuk dan melindunginya, merawatnya dalam hari-hari buruk hingga
membawanya ke sinar matahari dan juga cahaya yang selalu menghampiri mereka
yang selalu berharap impiannya akan menjadi nyata. Semua yang Anda impikan,
Anda inginkan dan Anda harapkan, akan dapat Anda raih jika Anda memiliki
kekuatan untuk bertahan, jika Anda dapat tetap terfokus pada tujuan Anda dengan
intensitas yang cukup dan dengan satu tujuan.”
Aku bengong. Ini kata-kata terindah yang pernah kubaca.
Mungkin buku itu dikirim Tuhan padaku sebagai perwujudan dari malaikat. Aku
tertawa sendiri. Buku ini adalah malaikat yang dikirim Tuhan? Kalau begitu,
buku ini pasti punya sayap tersembunyi. Aku pasti sudah gila. Makin hari, otak
gue semakin kacau. Berasa apa kalik gue kalau kayak gini terus. Ha-ha. Aku
membaringkan tubuhku lagi dan buku itu kuletakkan di atas dadaku, mencoba
meresapi semua kata-kata tadi. Aku bisa, ya, aku bisa meraih apa yang aku
inginkan. Tuhan selalu memberi jalan.
Ponselku berdering..
Ternyata aku tertidur tadi. Jeff pasti sudah sampai dan
sedang berusaha menelponku. Benar, Jeff menelpon. Aku melempar ponselku ke meja
dan segera berlari menuju ruang tamu. Jeff sudah duduk disana dan tersenyum
manis padaku. Aku membalas dengan senyuman riang dan menghampirinya. Aku
langsung memeluknya. Aku bisa mencium wangi parfum Drakkar, parfum yang sangat
dia sukai.
“Luna, aku tadi ngga ingin bangunin kamu. Jadi aku telpon
aja biar kamu bangun sendiri.” Kata Jeff sambil tertawa.
“Itu sama aja bangunin aku. Dasar. Tapi maaf ya aku
ketiduran.” Aku merapikan kemeja Jeff. Dia tampan hari ini. Dia juga terlihat
sangat dewasa, mungkin karena dia lebih tua dua tahun dariku sehingga aku
sering melongo melihat gaya berpakaiannya yang berbeda dari anak seumuranku.
“Mama ngga bangunin aku. Harusnya Mama bangunin aku.”
“Mama kamu ngga di rumah kok.”
“Loh? Tadi Mama di rumah.”
“Kata Bi Sami, Mama kamu lagi nyetorin tulisannya ke
penerbit.”
“Oh.. emang dasar penulis ya ke penerbit terus kerjaannya.”
Kataku ketus.
“Karena itu ‘kan nama kamu Penaluna. Mama kamu penulis dan
juga pelukis, seniman dehpokoknya. Pena dan Luna. Penaluna Windy Arzen. ” Jeff
mencubit pipiku.
“Tapi kalo Papa itu ‘kan investor. Berarti harusnya nama
tengahku Investasi.”
Jeff tertawa terbahak-bahak. “Penaluna Investasi. Nama kamu
keren banget!”
Aku memandang wajah Jeff. Cara tertawanya yang begitu lepas
dan juga mata coklatnya. Aku suka kedua mata coklat itu. Jeffri Raditya, aku
sudah pacaran dengannya semenjak aku di kelas tiga SMP, sekitar tiga tahun yang
lalu. Dia begitu berarti bagiku.
“Oh iya, ngomong-ngomong soal audisi, semuanya bukan salah
kamu, sayang. Kamu udah usaha keras selama ini buat bikin film pendek itu. Kita
semua tahu kamu yang terbaik. Mungkin Emma lagi lucky aja.” Jeff meraih
tanganku.
“Kita semua? Siapa yang kamu maksud kita semua? Mamaku?
Papaku? Sahabatku sendiri, Kesly sama Manda? Mereka pikir aku yang terbaik
untuk ini?”
“Udahlah, sayang. Kamu harus senyum. Ayo senyum..” Jeff
menarik-narik kedua ujung bibirku dan membuatku tidak bisa menahan tawa. Jeff
selalu membuatku tersenyum dan menjagaku. Dia segalanya. Sesuatu di dalam
dirinya membuatku merasa begitu berarti. Aku sangat mencintainya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar