Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi.
Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan
kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku
sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak
butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor
karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di
kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan
kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku
menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku
mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif,
apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau
puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering
kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan
kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan
berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan
puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan
dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah
mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan
semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi
benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan
perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak
ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk
makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang
hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap
hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang
sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di
tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan
sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali
kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku
ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan.
Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya
meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena
kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan
waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku
heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang
sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras.
Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu
datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah
menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang
menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku
sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa
geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata
Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling
menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup
buatku.
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti.
Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi,
semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala
kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa
untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk
guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas
kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini,
kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya.
Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat.
Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi,
laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku.
Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat
samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa
basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu
berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku
berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar
ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak
yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap
suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang
baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu,
rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami
seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata
Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu
keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi
pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu.
Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok
sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang
diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir
tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan
caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku.
Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik
sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor
dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap
rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang
tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan
penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak
sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan
yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu
berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku
kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti,
salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita
lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk
mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin
menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya
jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa
mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari
ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia
bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa
aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah
dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya.
Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan
rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku
menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja
sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding,
jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di
sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur
pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *
For vieny, welcome to your husband’s
heart.
*dikutip dari Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana karya Sapardi Djoko Damono.
Sumber : Majalah Ummi, edisi 12/XIII/2002
Oleh :
Inayati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar