Calon Suami???!
Pfui, kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Bosan aku. Lagi-lagi calon suami yang
dibicarakan. Bayangin, sudah dua bulan ini tidak ada topik yang lebih trend di
rumah, selain soal suami.
Mulai dari Papi yang selalu nyindir, sudah pengen menimang cucu. Mami yang
berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu pilih-pilih tebu. Lalu Bambang,
adikku, yang kuharap bisa menetralisir suasana, tak urung ikut menggoda. Bahkan
si kembar Rani-Rano, yang masih es em pe pun, ikut-ikutan menceramahiku.
”Mbak Ajeng kan udah jadi insinyur, udah waktunya dong, mikirin
berkeluarga. Lagian, Rani sama Rano kan udah pengen dipanggil ’Tante dan Oom’.
Tika aja yang baru kelas enam, keponakannya udah empat!”
”Iya, Mbak. Jaman sekarang, perempuan itu harus agresif. Mbak Ajeng sih,
kerjanya belajar ama ngaji melulu!” Rano menimpali kata-kata kembarnya.
Aku hanya bisa melotot, nemu di mana lagi pendapat kayak gitu.
”Udah sana kalian belajar!” hardikku agak keras.
”Tuh, kaaaan?!?” seru mereka berdua kompak.
Huhh, dasar kembar!
***
”Ajeng…!”
Kudengar panggilan Mami dari depan. Pelan aku bangkit dari meja belajar. Setelah merapikan jilbab, aku keluar.
”Ada apa, Mi?” tanyaku lunak. Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki,
duduk di sudut ruangan.
Kedua bola mata Mami tampak bersinar-sinar. Oo…Oo…! Pasti ada yang nggak
beres, gumamku dalam hati. Iiih..su’udzon! Tapi….
Benar saja.
“Ajeng, kenalin. Ini tangan kanan Papi di kantor. Hebat, ya! Masih muda sudah jadi Wakil Presiden Direktur. Ayo, kenalin dulu. Ini Nak
Bui….”
”Boy, Tante!”
”Eh, iya. Boi!”
Aku hanya bisa menahan geli. Mami…Mami…!
Rasa geliku mendadak hilang, ketika selama dua jam berikutnya aku harus
mendengarkan obrolan Mami dengan Si Boi tadi.
Bukan main, lagaknya! Batinku menggerutu sendiri, mendengar
cerita-ceritanya yang melulu berbau luar negeri.
”Jadi, Tante, selama belajar di Harvard, saya sudah coba-coba berbisnis
sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan
keliling Amerika, bahkan Eropa setiap kali holiday!”
Hihhh, gemas aku! Terlebih melihat pancaran kagum di wajah Mami.
Benar-benar nggak peka nih anak. Kok bisa sih nggak merasa dicuekin? Tetap aja
ngomong. Tak perduli aku yang cuma diam dan sesekali manggut. Kupanjatkan
syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boi pulang. Alhamdulillah!
***
Kulihat Bambang tertawa. Kesal, kulemparkan bantal ke arahnya. Orang cerita
panjang lebar minta advise, kok cuma diketawain?!?
”Bang, serius, dong! Pokoknya kalau nanti Mami nanyain kamu soal Boy, awass
kalau kamu setuju!” ancamku serius. Bambang masih cengar-cengir.
”Mbak Ajeng gimana, sih? Biasanya Mbak yang nyuruh aku sabar menghadapi
segala sesuatu. Lho, kok sekarang malah panasan gini? Tenang aja, Mbak, sabar!
Innallaha ma’ashshabirin!” balasnya sambil mengutip salah satu ayat di
Al-Quran.
Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran gini. Baru juga ngadepin si Boy.
Astaghfirullah!
”Mbak bingung, Bang! Habis serumah pada mojokin semua. Kamu ngerti, kan,
milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih sekarang susah. Mbak nggak
pengen gambling. Salah-salah pilih, resikonya besar. Nggak main-main, dunia
akhirat!”
Sekejap, kulihat keseriusan di matanya. Cuma sekejap, sebelum ia kembali
menggodaku.
”Apa perlu Bambang yang nyariin???!”
Lemparan bantalku kembali melayang.
***
Kriiiiing…!!!
Ups, kumatikan bunyi weker yang membangunkanku. Jam tiga lebih seperempat. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu.
Kuperhatikan lampu kamar Bambang masih menyala. Sayup-sayup suara kaset
murattal terdengar.
Tercapai juga niatnya untuk begadang malam ini, pikirku. Heran, kebiasaan
menghadapi ujian dengan pola SKS (Sistem Kebut Semalam) masih membudaya
rupanya.
Cepat kuhapuskan pikiran tentang Bambang dan ujiannya. Mataku nanar menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan air
wudhu yang tersisa dengan handuk kecil. Oooohh, begini rupanya gadis di
penghujung usia dua puluh sembilan? Kuperhatikan bentuk wajahku yang makin
tirus. Baru kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana perginya rona
merah yang biasa hadir di sana. Mungkin hilang termakan usia. Ya Rabbi, pantas
saja Papi dan Mami begitu khawatir. Sudah sulung mereka tak cantik, menjelang
tua, lagi!
”Ir. Ajeng Prihartini.” Kueja namaku sendiri.
”Jangan cemas ya ukhti, ini bukan nasib buruk!” Bisikku menghibur.
Bagaimana pun aku harus tetap tawakkal pada Allah. Jodoh, rizki, dan maut, Dia
yang menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu kepastian yang akan kita raih
dalam hidup. Tidak, ada hal lain yang lebih penting, lebih pasti. Ada kematian,
maut yang pasti kita hadapi. Sesuatu yang selama ini sering kuucapkan kepada
saudaraku muslimah yang lain, ketika mereka ramai meresahkan calon suami yang
tak kunjung datang.
”Sebetulnya kita ini lucu, ya? Lebih sering mempermasalahkan pernikahan,
hal yang belum tentu terjadi. Maksud Ajeng, bergulirnya waktu dan usia, nggak
seharusnya membuat kita lupa untuk berpikir positif terhadap Allah. Boleh jadi
calon kita ini nggak buat di dunia, tapi disediakan di surga. Mungkin Allah
ingin memberikan yang lebih baik, who knows?” ujarku optimis, dua
tahun yang lalu.
Astaghfirullah! Ishbiri ya ukhti, isbiri….
Tanganku masih menengadah, berdoa, saat kudengar azan Subuh berkumandang.
Hari baru kembali hadir. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, untuk satu hari
lagi kesempatan beramal dan taubat, yang masih Kau berikan.
***
Selesai berurusan dengan Mami untuk masalah Boy, gantian aku harus
menghadapi Tante Ida yang siap mempromosikan calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku cuma
bisa manggut-manggut.
”Tante sih terserah Ajeng. Pokoknya lihat aja dulu. Syukur-syukur Ajeng
suka. Dia anak lurah. Bapaknya termasuk juragan kerbau yang paling kaya di
Jawa. Tapi nggak kampungan, kok. Anak kuliahan juga seperti kamu!” promosi
Tante Ida bersemangat.
Dua hari kemudian, Tanteku itu kembali datang dengan ’balon’nya.
”Junaedi. Panggil aja Juned!”
Aku hanya mengangguk. Tak membalas uluran tangan yang
diajukannya.
Selama pembicaraan berikutnya, berkali-kali aku harus menahan diri, untuk
tidak lari ke dalam. Aku tidak ingin menyinggung perasaan Tante Ida. Apalagi
beliau bermaksud baik. Hanya saja, asap rokok Juned benar-benar membuatku mual.
Malah nggak berhenti-henti. Habis sebatang, sambung sebatang. Persis lokomotif
uap jaman dulu!
Dengan berani pula ia mengomentari penampilanku.
”Eng…jangan tersinggung ya, Jeng. Aku suka bingung sendiri ngeliat
perempuan yang memakai kerudung. Kenapa sih tidak pintar-pintar memilih warna
dan mode?! Aku kalau punya isteri, pasti tak suruh beli baju yang
warna-warnanya cerah, menyala. Sekaligus yang bervariasi. Seperti yang dipakai
artis-artis kita yang beragama Islam itu lho, sekarang. Ndak apa-apa toh sedikit
kelihatan leher atau betis?! Maksudku biar tidak terlihat seperti karung
berjalan gitu lho, Jeng! Hahaha….”
Kontan raut mukaku berubah. Tanpa menunggu rokok keenamnya habis, aku mohon
diri ke dalam. Tak lama kudengar suara Juned pamitan. Alhamdulillah.
Ketika Tante Ida menanyakan pendapatku, hati-hati aku menjawab.
”Maaf ya, Tan…, rasanya Ajeng nggak sreg. Terutama asap rokoknya
itu, lho. Soalnya Ajeng punya alergi sama asap rokok. Mana kelihatannya Juned
perokok berat, lagi. Maaf ya, Tan…, udah ngerepotin.”
Bayang kekecewaan tampak menghiasi raut muka Tante Ida.
”Bener, nih…nggak nyesel? Tante cuma berusaha bantu. Ajeng juga mesti
memikirkan perasaan Mami sama Papi. Susah lho, nyari yang seperti Juned. Udah
ganteng, dokterandes lagi! Terlebih kamu juga sudah cukup berumur.”
Bujukan Tante Ida tak mampu menggoyahkanku. Dengan masih kecewa, beliau
beranjak keluar. Sempat kudengar Tante Ida berbicara dengan Papi dan Mami. Sempat pula kudengar komentar-komentar mereka yang bernada kecewa, sedih.
Ya Allah, kuatkan hamba-Mu!
Hari berangsur malam. Aku masih di kamar, mematung. Beragam perasaan bermain di hatiku. Sementara itu, hujan turun
rintik-rintik.
***
Siang begitu terik. Langkahku lesu menghampiri rumah. Capek rasanya jalan
setengah harian, dari satu perpustakaan ke perpustakaan IPB lainnya. Namun buku
yang kucari belum juga ketemu. Padahal buku itu sangat kuperlukan untuk
menghadapi ujian pasca sarjanaku sebentar lagi. Sia-sia harapanku untuk bisa
beristirahat pulang ke Depok. Kereta yang kutumpangi benar-benar penuh. Sudah
untung bisa berdiri tegak, dan tidak doyong ke sana ke mari, terdesak penumpang
yang lain.
”Assalamu’alaikum!” perasaanku kembali tidak enak, melihat Mami yang tidak
sendirian. Seorang lelaki berjeans, dengan sajadah di pundak, dan kopiah di
kepala, tampak menemani beliau. Jangan…jangan….
”Wa’alaikumussalam. Nah, ini Ajengnya sudah pulang. Ajeng, sini sayang.
Kenalkan, Saleh. Putera Pak Camat yang baru lulus dari pondok pesantren di
Kalimantan. Kalian pasti bisa bekerja sama mengelola
kegiatan masjid di sini. Lho, Ajeng…, kok malah diam? Maaf Nak Saleh, Ajeng
memang pemalu orangnya.”
Duhh, Mami!
Kali ini Mami membiarkanku berdua dengan tamunya itu. Risih, kuminta Rani
mendampingiku. Dia setuju setelah aku janji akan menemaninya mendengar ceramah
di Wali Songo, pekan depan.
Selama Saleh berbicara, aku menunduk terus. Bisa kurasakan pandangannya
yang jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Saleh bercerita
tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai. Bukan main. Lalu
ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Soal
doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk ketika tahiyat, dan
lain-lain yang senada.
Terus terang, aku tidak begitu setuju dengan caranya. Betul bahwa semuanya harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan makin
meributkannya, hanya akan memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah bahwa
masing-masing berpegang pada sunnah Rasulullah. Tentunya akan lebih baik, jika
kita justru berusaha mencari titik temu atau persamaan, dan bukan malah
memperlebar jurang perbedaan.
”Kalau menurut Saleh, kasus Bosnia itu bagaimana?” tanyaku mengalihkan
perhatian.
”Oooh, itu. Ane sangat tidak setuju. Menurut pendapat dan analisa ane,
tidak seharusnya masalah Bosnia itu digembar-gemborkan. Itu akan membuat sikap
tersebut kian membudaya. Sudah saatnya pola sikap ngebos, dan penghargaan
masyarakat terhadap orang-orang yang punya kedudukan, diarahkan sewajarnya.
Agar tidak berlebihan.” ulasnya panjang lebar.
Gantian aku yang bingung.
”Saya…saya tidak paham apa yang Saleh maksudkan.” ujarku sedikit gagap.
”Kenapa? Apa karena bahasa yang ane gunakan terlalu tinggi atau bagaimana,
hingga Ajeng sulit memahami?”
Aku tambah melongo.
”Bukan itu, ini…, Bosnia yang mana, yang Saleh maksudkan?” tanyaku makin
bingung.
”Lha, yang nanya kok malah bingung?! Yang ane bicarakan tadi ya tentang
Bosnia, Boss-Mania, kan maksud Ajeng?!!”
Ufh, kutahan tawa yang nyaris meledak. Bingung aku, ternyata masih saja ada
orang yang meributkan hal-hal yang relatif lebih kecil, dan melupakan masalah
lain yang lebih besar. Dari sudut mataku, kulihat Rani pringas-pringis menahan
geli, sambil mempermainkan kerudung pink-nya. Lucu sekali.
”Bukan, yang Ajeng maksudkan adalah penindasan yang terjadi pada
saudara-saudara muslim kita di Negara Bosnia.” aku berusaha menjelaskan dengan
sabar.
Tampak Saleh manggut-manggut.
”Ooooh, yang itu. Ya…jelas penindasan itu tidak bisa
dibenarkan. Tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan,” ujar Saleh
optimis, lalu….
”Ngomong-ngomong, Bosnia itu di mana, sih?”
Tawa Rani meledak.
Duhhh, Mami!!!
***
Malamnya, waktu aku protes ke Mami, soal calon-calon itu, tanpa diduga,
malah Mami yang marah.
”Lho, kamu itu gimana toh? Kata Bambang kamu maunya sama Saleh. Pas Mami
temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu yang kamu inginkan. Jadi sebenarnya,
Saleh yang mana calon kamu itu?” suara Mami meninggi.
Aku terhenyak. Bambang yang duduk di kursi makan tersenyum simpul. Awas,
kamu de’! Bisikku gemas.
”Bukan yang namanya Saleh, Mi. Ajeng ingin orang yang saleh, yang taat
beribadah. Orang yang punya pemahaman paling tidak mendekati menyeluruhlah,
tentang Islam. Yang Islamnya nggak cuma teori, tapi ada bukti. Yang nggak
jelalatan memandang Ajeng terus-terusan dari ujung jilbab sampai kaos kaki,
seperti hendak menawar barang dagangan. Ajeng tahu, usia Ajeng sudah jauh dari
cukup. Ajeng juga pengen segera menikah. Perempuan mana sih, yang tidak ingin
berkeluarga, dan punya anak?” lanjutku hampir menangis.
”Tapi…, tolong. Jangan menyudutkan Ajeng. Tolong Mami bantu Ajeng agar bisa
tetap sabar, tetap tawakkal sama Allah. Kita memang harus berusaha, tapi jangan
memaksakan diri. Biar Ajeng mesti nunggu sampai tua, Ajeng siap. Daripada
bersuamikan orang yang akhlaknya tidak Islami. Tolong Ajeng, Mi…tolong!”
Kusaksikan mata Mami berkaca-kaca. Diraihnya aku ke dalam pelukannya. Berdua
kami berisakan. Papi turut menghampiri, menepuk-nepuk pundakku. Rani dan Reno
terdiam di kursinya.
”Maafin Mami, sayang….” suara Mami lirih, memelukku makin erat.
***
Kesibukanku menulis diary terhenti.
”Mbak Ajeng…telepon tuh!” pekik Rano keras.
”Dari siapa? Kalau dari Anto Boy, Didin, Juned, atau Saleh, Mbak nggak mau
terima!” balasku agak keras.
Hening, tidak ada panggilan lanjutan dari Rano. Aku lega.
Alhamdulillah, sejak kejadian malam itu, perlahan topik trend kami
bergeser. Mami tidak lagi menyodorkan calon-calonnya, sebelum menanyakan
kesediaanku. Beberapa Oom dan Tante yang datang, harus pulang dengan kecewa
karena promosi dibatalkan. Aku masing ingin menenangkan diri dulu.
Kuraih pena. Dengan hati seringan kapas, aku mulai menulis:
Kepada Calon Suamiku….
Usiaku hari ini bertambah setahun lagi.
Tiga puluh tahun sudah. Alhamdulillah. Kuharap,
tahun-tahun yang berlalu, meski memudarkan keremajaanku, namun tidak akan
pernah memudarkan ghirah Islamiah yang ada. Mudah-mudahan aku bisa tetap
istiqamah di jalan-Nya.
Ujian pasca sarjanaku sudah selesai. Sebentar lagi,
satu embel-embel gelar kembali menghiasi namaku. Belum lama ini aku juga
mengambil kursus jahit dan memasak. Dengan besar hati pula, Mami mesti
mengakui, bahwa kemahirannya di dapur, kini sudah tersaingi.
Alhamdulillah, sekarang aku lebih bisa berkonsentrasi
untuk menulis, dan memberikan berbagai ceramah di beberapa kampus dan masjid.
Baru sedikit itulah, yang bisa kulakukan sebagai perwujudan syukurku atas
nikmat-Nya yang tak terhitung.
Calon suamiku….
Aku maklum, bila sampai detik ini kau belum juga
hadir. Permasalahan yang menimpa kaum muslimin begitu banyak. Kesemuanya
membentuk satu daftar panjang dalam agenda kita. Aku yakin ketidakhadiranmu
semata-mata karena kesibukan dakwah yang ada. Satu kerja mulia, yang hanya
sedikit orang terpanggil untuk ikut merasa bertanggung jawab. Insya Allah, hal
itu akan membuat penantian ini seakan tidak pernah ada.
Calon suamiku….
Namun jika engkau memang disediakan untukku di dunia
ini, bila kau sudah siap untuk menambah satu amanah lagi dalam kehidupan ini,
yang akan menjadi nilai plus di hadapan Allah (semoga), maka datanglah. Tak
usah kau cemaskan soal kuliah yang belum selesai, atau pekerjaan yang masih
sambilan. Insya Allah, iman akan menjawab segalanya. Percayakan semuanya pada
Allah. Jika Dia senantiasa memberikan rizki, padahal kita tidak dalam keadaan
jihad di jalan-Nya, lalu bagaimana mungkin Allah akan menelantarkan kita,
sedangkan kita senantiasa berjihad di sabil-Nya?!
Banyaklah berdoa, Calon Suamiku, di manapun engkau
berada. Insya Allah, doaku selalu menyertai usahamu.
Wassalam,
Adinda
NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, sih?
”Syahril… Nama saya Syahril.”
Deg! Aku tersentak. Pena yang kugenggam jatuh. Rasa-rasanya kudengar satu
suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke depan. Sebelum aku sempat menyibak
tirai yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu, kudengar suara Papi
memanggilku.
”Ajeng…!”
Hampir aku terjatuh, saking tergesanya menghampiri beliau. Sekilas mataku
menyapu bayangan seorang lelaki berkaca mata, yang berdiri tak jauh dari Papi,
dengan wajah tertunduk, rapat ke dada. Di belakangnya, Bambang berdiri dengan
senyum khasnya.
”Nah, Nak Syahril, kenalkan, ini yang namanya Ajeng. Puteri sulung Oom.
Lho, kok malah nunduk?” suara ngebas Papi kembali terdengar.
Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Syahril tetap menunduk.
”Ayo, salaman. Ini lho, Jeng…puteranya Mas Wismoyo, sahabat Papi sejak
jaman revolusi dulu, sekaligus Ass Dos-nya Bambang di FISIP. Baru lulus ya
Nak?”
Syahril mengangguk. Tapi, tetap tak ada uluran tangan.
”Assalamu’alaikum, Ajeng. Saya Syahril.”
Masya Allah! Aku masih melongo, terpana.
“Insya Allah, hari ini saya akan berta’aruf dengan Ajeng. Kalau Ajeng
setuju, khitbahnya bisa dilaksanakan besok. Sesudah itu…mudah-mudahan kita bisa
jihad bareng….”
Agak samar kudengar kalimatnya yang terakhir. Kulihat Papi tersenyum
lebar, melirikku.
”Apa, Jeng…khitbah? Ngelamar, ya…??”
Aku mengangguk pendek, tersipu. Tawa Papi makin lebar.
Aku masih terpana.
Masya Allah, calon suamiku…eng…engng…ups, apakah…apakah…ini, kamu???
* Pemenang Harapan I LMCPI Annida.
Sumber : Majalah Annida, No. 12 1415 H/1994 M
Penulis : Asma Nadia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar