30 Mei 2011
Kedokteran? Aku benar-benar tak yakin akan tawaran itu. Aku
sama sekali tak tertarik dalam bidang itu. Namun Pak Arif benar juga, ini
kesempatan besar buatku. Aku harus bagaimana?
Masih dibawah pengaruh rasa bingung yang tak karuan, ku buka
laptopku. Ingin ku hilangkan semua penatku. Ku gerakan jemariku merangakai
sebuah URL yang sedang digandrungi remaja sebagian besar, www.facebook.com.
Setelah melaluiproses log in, aku telah sampai pada beranda dunia mayaku.
Betapa terkejutnya aku saat kulihat akan adanya puluhan pesan dan pemberitahuan
pada akun facebook-ku. Dan…. Itu semua dari Pritha.
Dia kembali… pantaskah aku mengatakan kata ‘kembali’ untuk
munculnya kabar dari Pritha? Huh, aku tak tahu.
“Pramanaaaaaa… toktoktok” suara Ibu buyarkan lamunan ku yang
tak karuan. “Ada Nak Pritha di depan…. Temuin gih,,,”
“Apa? Pritha?” batinku. “Iya, Bu… bentar…” sahutku kemudian.
“Pritha muncul setelah sebulan lebih menghilang…sebenarnya apa yang dia
inginkan?” batinku masih tak percaya.
. . . . . .
“Hai, Pram….” Sapa Pritha saat aku baru muncul dari balik
tembok. Aku masih tak tahu apa yang harus ku katakan padanya. Haruskah rasa
marah dan kecewa atas hilangnya kabar darinya secara tiba-tiba, yang ku
tunjukan? Atau, haruskah ku tumpahkan segala rasa rinduku padanya dan
mengenyampingkan semua kecewaku?
“Ngapain lo kesini?” tanyaku begitu saja.
“Sory Pram,… aku…”
“. . . .”
“Aku ada keperluan ama keluargaku di luar kota. Dan itu
mendadak banget. Dan aku—“
“Nggak bisa pamit atau ngasih kabar kek?!” potongku, kesal.
“Em… Aku…”
“Kenapa? Apa susahnya sih, Tha?? Gue kecewa ama lo!!”
“Pram,… aku,,,” dia hanya menangis. Air matanya mengalir
deras dari kedua pelupuk matanya. Huh, aku membenci pemandangan ini, melihat
Pritha menangis.
“Udah lah, Tha! Kalo Lo uda nggak mau kita sahabatan lagi,
bilang aja. Nggak usah kaya gitu, ngilang nggak ada kabar. Sms, e-mail, telpon
nggak ada yang lo respon.” Ucapku mencak-mencak.
“Pram,…” suaranya melemah. Wajahnya yang sedari tadi pucat,
makin memucat kini. Air matanya terus mengalir.
Dia menangis.
Aku kian terbakar api emosi.
“keluar dari sini!” ucapku padanya dengan nada lebih rendah
dari sebelumnya.
“Pram,… aku—“
“PERGI!!!” bentakku kemudian.
Aku berbalik. Berharap Pritha tak mengetahui akan air mataku
yang mulai meluncur mulus di pipiku. Berharap Pritha segera menghilang dari
rumahku. Masih ku dengar isaknya untuk beberapa lama. Kemudian, ku dengarkan
langkah kaki yang gontai menjauh dariku. Pritha pergi…. Entah dia akan kembali
atau tidak,… aku tak tahu…
Aku masih berdiri terpaku di sini. Di tempat, dimana aku
telah mengusir Pritha, sahabatku. Potongan-potongan episode saat aku bersama
dia bermain dalam memoriku. Bagai film yang tengah di putar pada layar besar,
begitu cepat. Gambaran akan kebersamaanku dengan Pritha teramat jelas terlihat
dalam anganku. Haruskah semua kenangan iindah itu berakhir sampai disini?
“Prithaaaaaaaa” ku teriakkan namanya sekeras mungkin,
berharap dia akan berhenti menjauh dari rumahku. Ku balikan tubuhku, segera aku
berlari menyusulnya.
“Tha…” ku tangkap sosoknya yang kian menjauh dari pintu
utama rumahku. “Prithaaaaaaaa” kali ini ku teriakkan namanya lebih keras lagi.
Dia berhenti.
Aku pun berhenti berlari.
Dia berbalik.
Aku melangkah mendekatinya.
Dia menatapku.
Aku pun menatapnya.
“Tha…” ucapku dengan napas tersengal.
“Pram,…. Aku—“
“Maafin aku ya, Tha..” ku raih tubuhnya dan menariknya dalam
dekapan tubuhku.
“Maaf,…Maaf Pram…” ucapnya sambil terisak dalam dekapanku.
“sssst…..” ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat.
“Udah,.. udah…semua udah berlalu. Aku yakin kamu punya alasan yang kuat untuk
kepergian kamu. Em,,,,,aku ada kabar baik nih,,,”
“Oh ya… apa?” ucap Pritha sambil mengusap garis air mata di
pipinya.
“Aku dapet beasiswa, Tha….”
“Oh ya? Waw, selamat yaa…” ucapnya girang sambil memelukku.
“Hebat kamu…jurusan apa?”
“Itu masalahnya… aku bingung. Mereka nawarin aku di bidang
kedokteran.. kamu tahu kan, aku kurang ada minat dalam bidang itu—“
“keputusan kamu gimana?”
“. . . “ aku hanya dapat mengangkat bahu.
“Kamu tanya sama hati kamu” ucapnya sambil menunjuk dadaku,
menunjuk dimana hati kecil berada
“ :) makasii, Tha. Lo emang yang terbaik…”
“:)”
“Ntar malem aku mau traktir kamu makan. Oke? Buat ngerayain
ini. Ntar aku jemput deh. Gimana?”
“Nggak usah jemput lah. Nanti aku usahain ya, Pram…. Aku
pulang dulu, tadi aku bilang ke Mama nggak bakal lama-lama soalnya..
Assalamu’alaikum”
“okeh. See you later, girl!! Jam 7 yah… Ati ati.
Wa’alaikumsalam”
*****
20.00
Satu jam lebih aku mematung di sini. Ku lirik jam tanganku,
berharap waktu berhenti detik ini juga. Ingin ku berikan kesempatan pada Pritha
untuk dapat hadir di sini tepat waktu. Tapi….. lagi lagi ia tak tepat waktu.
Lagi lagi ia tak memberikan kabar padaku. Ada apa lagi dengannya? Akankah dia
menghilang lagi?
Jarum jam menunnukan pukul 20.45. Seharusnya kami telah
berkumpul, menghabiskan waktu bersama dengan senda gurau, dengan tawa, dengan
kegembiraan. Tapi…. Yang ada hanya aku yang sendiri, dalam hening, dalam sepi.
21.00
Ku putuskan untuk kembali ke rumah seorang diri. Seharusnya
aku melangkah pergi dari tempat ini berdua. Mengantar Pritha pulang, karena
hari telah larut. Semua tinggal rencana….. lagi lagi Pritha mengingkari
janjinya. Janji untuk datang pada malam ini. Janji untuk selalu memberi kabar
akan suatu halangan yang terjadi padanya. Lagi lagi Pritha telah membuatku
kecewa.
****
Juni 2011
“Pram,… ada yang
nyari tuh!!” seru Rendra kawanku dalam satu tim basket.
“Siapa?”
“Tuh” ucapnya sambil menunjuk seorang gadis bermbut panjang
dan berwajah pucat.
“Pritha?”
“. . .”Rendra hanya mengankat bahu. “Cantik loh, tapi sayang
wajahnya pucet banget. Temuin sono”
. . . .
“Ngapain lo di sini?” ucapku kesal saat sampai di
hadapannya.
“Aku tau hari ini kamu ada jadwal latihan basket. Jadi aku
langsung ke sini aja. Dan ternyata tebakan aku bener, kamu ada di sini”
“Pulang sana! Aku sibuk!”
“Kamu marah?” dia bertanya dengan wajah polosnya. “Pram,
….aku--”
“Peduli apa Lo!! Pulang sana, gue nggak butuh temen kaya
Lo!! Muna!”
“Aku bisa jelasin, Pram… malam itu aku—“
“Kenapa? Lo nggak bisa dateng karena jam di rumah lo mati
lagi? Hape lo low batt, jadi lo nggal bisa sms buat ngasih kabar ke gue?!”
omelku panjang lebar padanya. “Udah deh…. Gue capek!! Nggak sekali lo kaya
gini”
“Pram..aku—“
“Dan lo juga tahu kan, gue paling nggak bisa toleran ama
orang muna kaya Lo!!!!”
“Tapi, aku punya alasan untuk ini, Pram!!! Dengerin dulu
penjelasanku—“
“Udah jelas semua!!!” potongku dengan nada suara yang kian
naik. “PERGI LO!!! Enek gue ngeliat lo di sini!!” kata-kata jahat itu keluar
tak terkendali dari mulutku. “PERGI!!!”
Aku berbalik dan segera melangkah pergi menjauh dari Pritha.
Berharap kali ini aku tak akan berbalik dan mengejarnya seperti dulu. Hatiku
terlanjur luka dan bernanah. Aku benar-benar kecewa.
. . . . .
---beberapa menit kemudian---
“Pram… pram praaam…..” Dudi tergopoh gopoh ke arahku yang
sedang asyik berkeluh kesah dengan bola basket.
“Ngapain?” jawabku malas.
“Cewe tadi... cewe yang barusan lo temuin—“
“Kenapa lagi?” potongku cepat. “dia balik lagi? Maksa pengen
ketemu gue lagi? Usir aja! Bilang gue lagi sibuk. Repot amat!”
“Eh…. Bukan!!! Denger dulu!!” bantahnya. “Dia pingsan!!”
“hah..” sahutku dengan mata melotot dan hati yang kaget
bukan main. “Dimana?”
“Di gerbang depan. Anak-anak lagi ngerubungin dia tuh”.
Segera ku berlari menuju TKP.
Tubuh gadis itu terbujur lemah. Wajahnya kian pucat.
Mengalir darah segar dari kedua lubang hidungnya. Orang-orang di sekitarnya
hanya terdiam, asyik menonton penderitaanya. Segera ku raih tubuhnya. Ku
periksa denyut nadinya. Kian melemah. Pun kulitnya kian terasa dingin.
“Apa yang kalian lihat hah? Panggil ambulans!!!
CEPAAAAT!!!!” ucapku mencak mencak tak karuan.
“Pritha……… bertahanlah…..” bisikku padanya lemah.
*****
“Apa? Kanker otak?” aku tercengang. Pritha tidak mungkin
mengidap penyakit itu. Aku tahu dia orang yang kuat. Tuhan….. “Kenapa dia nggak
cerita? Kenapa…. Aku nggak pernah tahu tentang ini?”
“Maafkan tante, Sayang. Pritha sangat sayang sama kamu. Dia
melarang tante dan om untuk cerita penyakit ini ke kamu. Dia nggak pengen kamu
khawatir, Nak” jelas Tante Vivi dengan nada yang sengaja dibuat tenang.
“Separah apa kankernya?”
“Sudah stadium akhir. Sebulan yang lalu kami mencoba untuk
menjalani terapi diluar negeri. Namun, pihak kesehatan di sana sudah menyerah,
Nak. Terlambat bagi kami untuk melawan kanker di tubuh Pritha. Sesampainya kami
di rumah, Pritha langsung merengek memaksa untuk datang ke rumahmu, Nak.
Alhasil, beberepa malam lalu tubuhnya kembali melemah. Kondisinya drop. Tadi
pagi, saat dia sadar dan agak membaik, dia memaksa agar diantar ke tempat
latihan basket tempat kamu biasa latihan. Dia bilang, dia ada janji sama kamu.
Tante nggak yakin untuk ngijinin dia ketemu kamu, tapi dia memaksa. Dan sekarang………”
tante Vivi terisak. Kalimatnya terhenti. Airmuka yang tadi Nampak tegar, kini
berubah menjadi sesal.
Satu demi satu kejadian yang ada di ceritakan Tante Vivi
dengan rinci meski diselai dengan isak tangis yang kunjung henti dari beliau.
Semua seakan terputar kembali, bagai sebuah film kelam yang sama sekali tak
ingin ku saksikan namun terus ku bayangkan.
“Sabar ya, Te. Pritha itu orang yang kuat. Tante tahu itu
kan?” hiburku pada tante Vivi seadanya.
“Semoga saja, Nak. Dia sudah cukup lama menderita karena
kanker ini. Sudah hampir 9 tahun yang lalu. Dulu sempat pulih, dan dokter sudah
menyatakan dia sembuh. Tapi…… kanker itu muncul lagi…… :(” Tante Vivi tenggelam
dalam isakan tangisnya yang pilu.
Papa Pritha terdiam.
Aku pun tertdiam, terduduk lesu penuh sesal. Mengalir air
mataku yang seakan percuma. Karena aku telah gagal melindungi Pritha. Gagal
menjaga Pritha.
Kini aku tak tahu harus berbuat apa. Inginku putar kenbali
waktu. Ingin ku cabut semua kata-kata kasarku pada Pritha. Ingin ku hapus semua
prasangka burukku akan dia. Aku hanya bisa berlari. Membawa diri ini untuk
menjauh dari badan Pritha yang masih dalam kondisi kritis. Aku ingin terus
berlari, berharap menemukan sebuah jawaban atas segala segala rasa yang kini
berkecamuk dalam dada.
Tiba-tiba langit mendung. Tetes-tetes air langit turun
basahi tanah bumi. Gemuruh bergelegar, saling bersautan seakan alam sedang
marah. Apakah sang alam marah padaku atas Pritha? Terkutukkah aku sudah?
. . .
“Tuhan….. kenapa Engkau gariskan ini terjadi padaku??????”
teriakku tak jelas, sesampainya aku pada suatu tempat yang dahulu sering ku
kunjungi..
“Kenapa Engkau biarkan
ini terjadi dalam hidupku untuk yang kedua kalinya, Tuhan? Belum cukup
Engkau hancurkan hati ini dengan kepergian Findha??!!! Kenapa sekarang Pritha
juga harus mengalami hal yang sama dengan halnya Findha?? Apa aku tak boleh
bahagia, Tuhan? Apa aku memang tak pantas untuk mencintai dan dicintai oleh
orang-orang istimewa seperti mereka?”
Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku menyalahkan kuasaNya
yang Mahaagung. Tapi, harus dengan siapa lagi aku mengadu kini?
“Findha, lo tahu kan gimana hancurnya hati gue saat lo emang
harus ninggalin gue untuk selamanya?” tanyaku pada pusara yang ada di
hadapanku. “Sekarang, gue harus ngalamin lagi yang namanya kehilangan orang
yang gue sayang, Dek…”
Aku hanya dapat terus terisak. Terus tenggelam dalam
banjiran airmata di bawah guyuran hujan. Terus berkeluh kesah akan semua sakit
yang ku rasa, pada pusara di hadapanku. Pusara yang bernisankan “Findha”. Sosok
teristimewa dalam hidupku. Adikku…..
*****
29 Desember 2011
“Kamu pinter banget menyembunyikan semua ini dari aku. Dasar
anak nakal!” ucapku pada sosok yang masih enggan membuka kedua matanya. Ia
masih lelap dalam tidurnya yang panjang. Meski demikian, aku beserta keluarga
Pritha yakin, Pritha pasti akan bangun dari lelapnya. Bangun untuk kembali
tersenyum. Senyum yang mampu untuk membuat sang mentari malu dan selalu ingin
bersembunyi di balik awan.
“Kamu tahu kan hari ini adalah hari yang kamu tunggu setahun
yang lalu. Tujuh tahun persahabatan kita. Kamu juga tahukan, sekarang aku uda
kuliah di bidang kedokteran. Apa kamu nggak pengen tau ceritaku waktu di
kampus? Seru banget, Tha!” aku terus mngoceh sendiri. Entah, orang-orang di
sekitarku telah menganggapku gila atau tidak. Tak peduli, yang terpenting
Pritha segera sadar dan dapat kembali tersenyum. Walau matanya terpejam, aku
yakin mata hati Pritha mampu merasakan semuanya.
Ku letakkan tangannya di atas kepalaku. Ke genggam erat
tangnnya yang dingin. Ku cium punggung tangannya dengan penuh rindu, penuh
sesal.
“Selamat hari persahabatan, Tha. Seven years of our love”
bisikku sambil kembali mencium punggung tangannya.
Ku benamkan tubuhku dalam lipatan tanganku. Inginku pejamkan
mata, dan menemuinya dalam alam bawah sadar. Mencari bayangannya dalam tiap
kenangan yang terus mengaduk-aduk otakku.
. . . .
---pukul 21.00---
“Pram…..”
Suara itu terdengar lemah. Suara yang hampir hilang dari
pendengaranku 7 bulan lalu. Suara dari sosok yang ku rindu, . . . . . . .
.Pritha.
“Kamu udah sadar?” responku spontan. “Biar aku panggil
dokter yah, kamu tunggu bentar disini”
“Pram,…” ucap Pritha sambil memegang pergelangan tanganku,
menghentikan langkahku.
“Nggak usah. Aku baik kok. Aku lagi nggak pengen dapet
ceramah dari dokter. Aku mohon..” ucapnya masih dengan lemah.
“Oke”. Ucapku patuh. “Aku akan kabarin Mama dan Papa kamu-“
“Pram…” kembali Pritha menatapku dalam. Ia menggeleng. “Aku
nggak mau ngerepotin mereka”
“ya ya ya” jawabku setengah kesal.
“Makasi :)” ucapnya sambil nyengir.
“Lo tidurnya lama amat, kaya kebo—“ ucapku membuka
perbincangan pertama kami setelah hampir 7 bulan kami mematung dalam
perbincangan sunyi.
“Oh ya?”potongnya, berusaha memberi respon yang baik.
“Tapi…. Lo kebo paling cantik di dunia, Tha.”
“Gombal Lo!”
“Aku masuk kedokteran” bisikku.
“Selamat, Pram :)” senyumnya mengembang di bibirnya. Senyum
yang selama ini aku rindukan. “Selamat hari persahabatn, Pram” lanjutnya lirih.
“Selamat juga buat kamu, Tha” dapat ku lihat senyumnya terus
mengembang dalam wajah pucatnya. Senyumnya bagai bintang pagi yang indah.
“Sekarang tanggal berapa?” tiba-tiba dia bertanya demikian.
“29 Desember :)”
“Oh ya? Waktu berjalan cepet banget ya selama aku nggak
sadar..”
“Kan aku uda bilang kamu tidur kaya kebo” godaku
“Aku pengen ke taman, Pram. Bukannya kita uda janji untuk
pergi ke taman ditahun ke-tujuh persahabatan kita?”
“lo nggak lupa, Tha :). Makasii” batinku “Udah malem, Tha.
Kamu juga baru sadar. Besok aja yah”
“Ayolah, Pram….. semua akan beda kalau besok. Bukannya kamu
juga udah janji?” rengeknya manja
“Nggak, Tha!!”
“Pram,…. Please”
“Diluar hujan, Tha”
“Aku takut aku nggak punya waktu banyak untuk ini, aku—“
“Lo ngomong apa sih? Kesempatan kita masih panjang” potongku
karena risih akan kalimat yang belum terselesaikan oleh Pritha.
“Pram,…” ku lihat mata beningnya mulai tergenangi air mata.
Ini adalah kelemahanku. Aku paling tak tega jika harus
melihat seorang sahabatku seperti itu. “Oke, karena angka 7 merupakan angka
bagus dan katanya sih membawa keberuntungan, aku anter kamu. Tapi inget, kamu
juga harus sesuain sama kondisi kamu” jawabku kemudian.
“Oke, nanti kalau aku uda nggak kuat. Aku bakal ngelambai’in
tangan kok :D”
“Snting lo! Aku percaya kamu :)”
“:)”
****
. . .
-pukul 23.45-
Hujan masih belum reda, makin deras malah. Aku dan Pritha
masih mematung memandangi tiap tetes air langit yang turun, kemudian mengembun
pada kaca mobil. Kami berhasil sampai di taman ini dengan usaha yang tak mudah.
Malam ini aku telah melakukan satu tindak criminal. Menculik anak orang,
sekaligus membawa kabur pasien rumahsakit yang baru sadar dari koma.
“Hujannya nggak kunjung reda. Mending kita balik aja yah.
Besok kita ke sini lagi” ucapku pada Pritha yang sedang asyik melukis pada kaca
mobil dengan embunan air yang ada.
Dia bebalik menatapku. Dia diam dalam beberapa saat. “15
menit lagi hari ini akan berakhir Pram”
“Justru itu, Tha. Mending kita pulang. Hari udah makin malem
dan ini sama sekali nggak baik buat kondisi kamu, Tha”
“Karena hari tinggal 15 menit lagi, ayo kita turun dari
mobil dan kita langsung menuju ke rumah pohon. Akan menyenangkan walau waktu
kita nggak banyak” ucap Pritha seakan tak mendengar apa yang aku katakan
sebelumnya.
“Tha,… lo dengerin gue ngggak sih?” protesku pada Pritha
yang sedari tadi terus menerawang jauh dan terus berbicara tanpa melihat aku.
“Pram…. Waktu terus berjalan. Waktu kita nggak banyak”
ucapannya seakan menandakan bahwa ia benar-benar tak memperdulikan setiap ucapanku. “Ayo,
Pram…..” lanjutnya dengan nada memaksa. Setetes bulir bening meluncur mulus
dari hulu pelupuk matanya.
“Tha,… came on…dengerin aku” paksaku sambli menarik tangannya.
“Please,…” ucapnya
melemah. Tetes airmata berikutnya menyusul jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa Tha. Cuma itu.”
“Aku akan baik-baik aja, Pram. Aku yang tahu seberapa kuat
aku bisa bertahan dari semua ini”
Ku tarik napas panjang. Berusaha untuk dapat memutuskan yang
terbaik, tadi aku sudah mengalah untuk nekat membawa kabur Pritha ke taman ini,
dan sekarang…..
“Okelah, Ayo” kubukakan pintu mobil untuknya.
“:) thanks, boy”. Ucapnya senang, tentu dengan sebiah senyum
yang sempat hilang selama beberapa bulan lalu.
Sesaat kemudian ia tampak bingung. Sepertinya ada masalah
dengan kakinya. “Bisa bantu aku untuk sampai ke rumah pohon?” tanyanya ragu dan
sungkan.
“Ow,.. withpleasure Princess,…:)” ku raih tubuhnya dan ku
bopong dia. “Lo makin berat ya, harusnya tambah enteng!! Dasar kebo!!”
“Sialan lo!! Sini biar aku pegang payungnya” tawarnya
padaku.
Angin bertiup makin kencang. Pun hujan tak lekas untuk
sekejap menghentikan tiap tetes yang ada. Hal ini makin memberatkan langkahku
dan Pritha untuk dapat sampai di rumah pohon kami.
“Aaahh,…” Pritha memekik kaget saat tiba-tiba payung yang
dibawanya terbawa tiupan angin. ‘Pram,… maaf.. payungnya…” ucapnya dengan suara
makin lemah yang beradu dengan derasnya suara hujan.
“tenang, Tha. Bentar lagi kita sampe” ucapku tergopoh-gopoh.
Ku percepat langkahku. Tubuhku sudah kuyup, begitu pula
Pritha. Melihat wajahnya yang kian memucat, aku makin khawatir dan merasa serba
salah.
. . .
“Kita udah sampe, Tha” ucapku pada Pritha yang tampak kian
lemah di pangkuanku. Wajahnya kian memucat. Guyuran hujan makin membuatnya
lemah.
“makasii, Pram…” ucapnya sambil meraba ukiran tulisan yang
ada di pohon Mahoni milik kami. “Makasii kamu udah mau temenin aku, jaga aku—“
“Tha,… udah… :)” ku tatap matanya yang bulat nan penuh akan
ketulusan cinta. Ia tetap menggigil walau sudah mengenakan jaket miliknya. Ku
kenakan jaket ku untuk melapisi tubuhnya yang kuyup. “Aku seneng banget bisa
kenal dan bersahabat ama orang kaya kamu”
“nggak kerasa ya, udah tujuh tahun kita sama-sama. Rasanya
baru kemarin, tapi kenapa ya rasanya hari ini semuanya akan berakhir—“
“Sssstttt,…… ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat
dan gemetar. “Waktu kita masih panjang” bisikku pilu.
“Aku harap, Pram” ucapnya lelah sambil menarik masuk
tubuhnya dalam dekapanku. “Maaf kalau selama ini aku nyembunyiin masalah ini ke
kamu. Aku udah nggak jujur ke kamu”
Ku peluk ia erat. Semakin lama semakin ku eratkan dekapanku
padanya. Dan makin terasa pula tubuhnya yang kian melemah dan gemetar. “Tha,
kita balik yah. Inget ama janji kamu buat jaga kondisi kamu”
“Nggak, Pram,….” Ia menggeleng di dadaku, dalam dekapanku.
“Semenit lagi, Pram… hanya tinggal semenit hari ini akan berakhir.. tetaplah
seperti ini. Jangan lepaskan semua ini, Pram.” Ucapnya makin lirih dan lelah
dari sebelumnya.
Ku rasakan kulitnya yang kian dingin dalam genggaman
tangannya. Ku eratkan pula dekapanku pada tubuhnya, hanya berharap agar ia
masih bisa merasakan hangat. “Jangan tinggalin aku kaya Findha ya Tha”
“Nggak, Pram. Nggak akan.” Ucapnya pelan. “Dan asal kamu
tahu, Findha nggak pernah ninggalin kamu, dia selalu ada di sisi kamu. Dia
bener-bener adek yang istimewa, Pram. Seperti kata-kata kamu dulu”
“Iya,… dia istimewa” ucapku dengan linangan airmata yang
mulai jatuh. “Sama istimewanya sama kamu, Tha :)” ucapku pahit. “Aku sayang
sama kamu, Tha”
“J aku juga, Pram” ucapnya sambil menatap mataku dalam. “Aku
sayaaaang banget sama kamu :)” ujarnya sambil beruaha tersenyum wajar. Meski
tetap saja senyumnya makin menambah pahit luka hati ini.
“I love you” bisikku.
“really?”
“I do. You’re a special one in my life. My best friend. You
never be changed in my heart” lanjutku padanya.
“I’m great to hear that :). I love you too, boy. You’re the
best in my life. Kamu anugrah paling indah, Pram.”
Ku dekap tubuhnya. Aku tak kuasa lagi untuk menatap matanya
lebih lama. Tak memiliki daya untuk mendengarkan setiap kata yang diucapnya
lirih dan lelah. Ingin terus ke peluk ia. Tak ingin melepaskannya. Seakan, jika
aku melepaskan dekapanku ini, maka aku akan kehilangan semuanya. Kehilangan
untuk selamanya.
Ku lirik jam tanganku. Waktu telah menunjukan pukul 00.00
Tepat tengah hari. Jika sang jarum jam bergeser sepersekian detik saja, maka
hari bahagia bagi kami ini berakhir sudah. Bersamaan dengan berjalannya sang
waktu dan bergantinya hari, hujan pun mereda , berganti dengan rintik gerimis
yang turun. Angin yang tadinya bertiup kencang, kini menjinak berganti dengan
tiupannya yang sepoi menenangkan.
“Tha,… ayo balik ke rumah akit. Hari udah berganti. Inget
kondisi kamu” ucapku memecah sunyi saat ku lihat sang waktu menunjukan pukul
00.01
“. . . “
“Tha,…????” ucapku diterjang berjuta tanya. Ku tarik ia dari
dekapanku. “Tha….????”
Wajahnya tampak sangat pucat. Bibir merah mudanya, membiru.
Kulit tubuhnya terasa dingin. Sangat dingin. Tubuhnya tak lagi gemetar seperti
tadi. Terkesan tak kuasa bergerak malah.
“Tha…….” Ucapku sambil mengguncang ringan tubuhnya. “Kamu
udah janji untuk nggak ninggalin aku, kan? Tha?”
Ku periksa denyut nadinya yang terasa amat lemah. Ku lakukan
pertolongan pertama sederhana. Ku tekan dadanya perlahan, untuk memancing
reaksi dari detak jantungnya.
Tak lama, ia membuka matanya.
Ia tersenyum.
“Pram,…..”
“Sssst,…. Udah. Sekarang aku bawa kamu ke rumah sakit.”
Ia mengangguk pelan. “Aku bahagia banget malam ini.” Ucapnya
lelah terbata. “Pram,… maaf aku—“
Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Dan pada detik itu
pula, tarikan nafasnya memberat, denyut nadinya melemah, dan,………
“PRITHAAAAAAAAA!!!!!!!” aku tak mampu melakukan apapun. Ia
pergi. Menyusul Findha di sana. “TUHAAAAAAANNNN,…..”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun” ucapku pasrah. Ku
kecup kenignya sebagai tanda kasih dan cintaku padanya. Mungkin adalah
kesempatan terakhirku untuk dapat terus manatap mata bulatnya, mendekap erat
tubuh kurusnya.
Angin sepoi-sepoi seakan tak mampu membawa duka ini pergi.
Dinginnya Angin malam yang menusuk tulang, seakan tak mampu saingi kepedihan
dan kepahitan hati ini. Pritha pergi. Separuh jiwa dan hatiku turut pergi
bersamanya. Akankah semua cerita yang ada pun akan pergi bersamanya??
******
Oleh :
Aisyah Wulansari Rahajeng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar