Aku dan Risti memang bekerja di bidang yang berbeda, ia
lebih menyukai design graphis dan bekerja disalah satu perusahaan advertising
ternama di Indonesia. Sedangkan aku lebih memilih menjadi seorang wartawan dan
menghabiskan hari-hariku bekerja di luar kantor tak peduli siang ataupun malam.
tapi terus terang saja, karier Risti dua kali lebih cepat menanjak dibandingkan
aku. Dia sudah mempunyai lima kartu kredit berjajar di dompetnya, sedangkan aku
hanya punya dua itupun annual fee.
Yahh ironis sekali terkadang, dan sekarang aku bukan lagi
mempermasalahkan kesuksesan dan kelebihan saudara kembarku sendiri, melainkan
persoalan cowok yang bisa dikatakan lebih mendidihkan emosi serta kesakitan
hatiku padanya. Bukan karena Risti tidak tahu menahu tentang perasaanku pada
Rayyan, untuk kedua kalinya dalam hidupku aku mengatakan yang sejujurnya dan
berani terbuka padanya bahwa aku sangat mengagumi Rayyan, seorang pria sekaligus
rekan kerja Risti yang pernah ia kenalkan kepadaku tiga bulan lalu.
Aku seolah merasa bahwa pria itu adalah takdirku untuk
menjadi pasangan hidupku kelak, aku menyukai wajah tampannya, aku menyukai
tutur katanya yang lembut dan bijaksana, aku suka… aku suka segalanya yang ada
pada Rayyan, sampai-sampai sulit menjelaskan bagaimana perasaanku terhadapnya.
Setiap kali ia datang kerumah bersama Risti, mendengarkan ia berbicara dan
mengobrol bersamaku membuatku hampir kehilangan kata-kata, aku jadi seperti anak
autis yang hanya menjawab bila di tanya, menunduk setiap kali Rayyan melihat
mataku. Tapi benar-benar, ini perasaan luar biasa yang pernah aku rasakan, aku
seolah membabi buta ketika menyadari bahwa Rayyan sepertinya tidak menyukaiku
namun lebih menyukai Risti. Aku sering memergoki mereka ngobrol lewat telfon,
jalan berdua dan mereka begitu dekat.
Gila! Padahal Risti sudah punya Bagas dan pria mana lagi
yang harus ia kencani. Jika aku sudah nekad, barangkali aku akan mengatakan
semuanya kepada Bagas tentang kedekatan Risti dengan Rayyan, karena aku ingin
tahu seberapa besar reaksi Bagas terhadap ini semua.
Ini hari minggu. Aku tahu bi Weih pasti akan membuatkan
makanan untukku dan Risti seperti biasa, setidaknya gorengan. Tidak ada peran
ibu dirumah ini, karena sejak dua tahun yang lalu mama memutuskan untuk bekerja
di Malaysia dan membuka butik produk Indonesia, entah kenapa, padahal kami
sudah mati-matian mencegah mama untuk bekerja di Negara Melayu yang hubungannya
cenderung tidak bersahabat dengan Indonesia. Tapi itu sudah menjadi pilihannya,
untuk meninggalkan kedua anak gadisnya menjalani hidup di Jakarta hanya dengan
seorang perempuan setengah baya yang dengan sangat baik hatinya mengurusi kami.
“Mana goreng pisang Rasti, bi?” tanyaku pada bibi Weih yang
sedang sibuk memotong rapi kue lapis.
“Kali ini kue lapis ya,mbak Ras… mbak Risti tadi yang minta
katanya untuk tamunya.”
Aku sedikit manyun, tapi tak apalah tak semestinya memang
kesukaanku yang harus dituruti bi Weih. “Memang siapa tamunya, bi?”
“mas Rayyan. Tuh lagi ngobrol di teras depan.”
Aku mendadak mendelikkan mata, hatiku meluap gembira lantas
melesat cepat ke arah teras, aku tidak pernah lupa merapikan rambutku yang
sedikit berantakkan lalu menyambut hangat Rayyan dengan senyuman termanis.
Mumpung tidak ada Risti, pikirku.
“Udah siap, Ris?” Tanya Rayyan.
“Ya ampun Rayyan… aku Rasti bukan Risti, masa belum hafal
juga sih?” ujarku mengkoreksi sambil duduk di kursi kosong tepat dihadapannya.
Paling tidak ini kesempatanku untuk bisa memandanginya lebih dekat.
Ia meringis senyum lantas tertawa kecil “oh, maaf… sumpah
sampai sekarang aku sulit membedakan kalian berdua.”
“Gak apa-apa, aku maklum kok.” Kataku berbaik hati. “mmm..
memangnya kalian berdua mau pergi kemana?”
“Ada urusan sebentar. Kamu sendiri? Hari minggu gak pergi
kemana-mana?”
“Enggak, lagi gak ada temen yang bisa diajak keluar,
biasalah tanggal tua.” Rayyanpun tertawa, dan obrolan kamipun berlanjut panjang
sampai bi Weih berhasil menghidangkan kue lapisnya untuk Rayyan. Namun lima
belas menit kemudian giliran Risti muncul di balik pintu dengan dandanan
mempesonanya.
Saat ia tersenyum pada Rayyan dan mengajaknya pergi, aku
seolah melihat pelacur di dalam diri Risti, kenapa sih ia tidak bisa sebentar
saja membiarkanku senang?
“Ras, aku pergi dulu ya sama Rayyan ada urusan sebentar,
entar sebelum maghrib juga udah balik.”
Dan merekapun pergi, sedangkan Rayyan hanya meninggalkan
senyum terindahnya untukku. Setidaknya hanya itulah yang bisa membuat hatku
menjadi sedikit dingin. Bersambung...
Lanjutkan Membaca....
Lanjutkan Membaca....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar