Senin, 08 Oktober 2012

Aku dan Saudara Perempuanku

Aku dan saudara perempuanku, ia bernama Risti. Ia bukan hanya saudara perempuanku, tetapi merupakan sebagian dari belahan tubuhku tatkala kami dilahirkan dengan jarak waktu enam menit saja. Aku dan Risti adalah saudara kembar identik dimana hampir semua yang ada pada bagian tubuh kami memiliki kesamaan yang sulit dibedakan. Sama dalam fisik bukan berarti sama dalam segala hal. Kenyataanya sifat kami terkadang jauh berbeda, Risti adalah tipe gadis yang lebih suka terbuka secara frontal sedangkan aku cenderung tertutup dan sulit untuk mengungkapkan sesuatu secara terbuka. Dalam hal karir, entah mengapa ia bisa lebih sukses dari aku.

Aku dan Risti memang bekerja di bidang yang berbeda, ia lebih menyukai design graphis dan bekerja disalah satu perusahaan advertising ternama di Indonesia. Sedangkan aku lebih memilih menjadi seorang wartawan dan menghabiskan hari-hariku bekerja di luar kantor tak peduli siang ataupun malam. tapi terus terang saja, karier Risti dua kali lebih cepat menanjak dibandingkan aku. Dia sudah mempunyai lima kartu kredit berjajar di dompetnya, sedangkan aku hanya punya dua itupun annual fee.

Yahh ironis sekali terkadang, dan sekarang aku bukan lagi mempermasalahkan kesuksesan dan kelebihan saudara kembarku sendiri, melainkan persoalan cowok yang bisa dikatakan lebih mendidihkan emosi serta kesakitan hatiku padanya. Bukan karena Risti tidak tahu menahu tentang perasaanku pada Rayyan, untuk kedua kalinya dalam hidupku aku mengatakan yang sejujurnya dan berani terbuka padanya bahwa aku sangat mengagumi Rayyan, seorang pria sekaligus rekan kerja Risti yang pernah ia kenalkan kepadaku tiga bulan lalu.

Aku seolah merasa bahwa pria itu adalah takdirku untuk menjadi pasangan hidupku kelak, aku menyukai wajah tampannya, aku menyukai tutur katanya yang lembut dan bijaksana, aku suka… aku suka segalanya yang ada pada Rayyan, sampai-sampai sulit menjelaskan bagaimana perasaanku terhadapnya. Setiap kali ia datang kerumah bersama Risti, mendengarkan ia berbicara dan mengobrol bersamaku membuatku hampir kehilangan kata-kata, aku jadi seperti anak autis yang hanya menjawab bila di tanya, menunduk setiap kali Rayyan melihat mataku. Tapi benar-benar, ini perasaan luar biasa yang pernah aku rasakan, aku seolah membabi buta ketika menyadari bahwa Rayyan sepertinya tidak menyukaiku namun lebih menyukai Risti. Aku sering memergoki mereka ngobrol lewat telfon, jalan berdua dan mereka begitu dekat.

Gila! Padahal Risti sudah punya Bagas dan pria mana lagi yang harus ia kencani. Jika aku sudah nekad, barangkali aku akan mengatakan semuanya kepada Bagas tentang kedekatan Risti dengan Rayyan, karena aku ingin tahu seberapa besar reaksi Bagas terhadap ini semua.

Ini hari minggu. Aku tahu bi Weih pasti akan membuatkan makanan untukku dan Risti seperti biasa, setidaknya gorengan. Tidak ada peran ibu dirumah ini, karena sejak dua tahun yang lalu mama memutuskan untuk bekerja di Malaysia dan membuka butik produk Indonesia, entah kenapa, padahal kami sudah mati-matian mencegah mama untuk bekerja di Negara Melayu yang hubungannya cenderung tidak bersahabat dengan Indonesia. Tapi itu sudah menjadi pilihannya, untuk meninggalkan kedua anak gadisnya menjalani hidup di Jakarta hanya dengan seorang perempuan setengah baya yang dengan sangat baik hatinya mengurusi kami.

“Mana goreng pisang Rasti, bi?” tanyaku pada bibi Weih yang sedang sibuk memotong rapi kue lapis.

“Kali ini kue lapis ya,mbak Ras… mbak Risti tadi yang minta katanya untuk tamunya.”

Aku sedikit manyun, tapi tak apalah tak semestinya memang kesukaanku yang harus dituruti bi Weih. “Memang siapa tamunya, bi?”

“mas Rayyan. Tuh lagi ngobrol di teras depan.”

Aku mendadak mendelikkan mata, hatiku meluap gembira lantas melesat cepat ke arah teras, aku tidak pernah lupa merapikan rambutku yang sedikit berantakkan lalu menyambut hangat Rayyan dengan senyuman termanis. Mumpung tidak ada Risti, pikirku.

“Udah siap, Ris?” Tanya Rayyan.

“Ya ampun Rayyan… aku Rasti bukan Risti, masa belum hafal juga sih?” ujarku mengkoreksi sambil duduk di kursi kosong tepat dihadapannya. Paling tidak ini kesempatanku untuk bisa memandanginya lebih dekat.

Ia meringis senyum lantas tertawa kecil “oh, maaf… sumpah sampai sekarang aku sulit membedakan kalian berdua.”

“Gak apa-apa, aku maklum kok.” Kataku berbaik hati. “mmm.. memangnya kalian berdua mau pergi kemana?”

“Ada urusan sebentar. Kamu sendiri? Hari minggu gak pergi kemana-mana?”

“Enggak, lagi gak ada temen yang bisa diajak keluar, biasalah tanggal tua.” Rayyanpun tertawa, dan obrolan kamipun berlanjut panjang sampai bi Weih berhasil menghidangkan kue lapisnya untuk Rayyan. Namun lima belas menit kemudian giliran Risti muncul di balik pintu dengan dandanan mempesonanya.

Saat ia tersenyum pada Rayyan dan mengajaknya pergi, aku seolah melihat pelacur di dalam diri Risti, kenapa sih ia tidak bisa sebentar saja membiarkanku senang?

“Ras, aku pergi dulu ya sama Rayyan ada urusan sebentar, entar sebelum maghrib juga udah balik.”

Dan merekapun pergi, sedangkan Rayyan hanya meninggalkan senyum terindahnya untukku. Setidaknya hanya itulah yang bisa membuat hatku menjadi sedikit dingin. Bersambung...
Lanjutkan Membaca....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar