[lanjutan]
Mendesahkan nafas adalah satu-satunya cara yang bisa aku
lakukan untuk bersabar. Ya… mungkin aku harus belajar mengalah dan ikhlas pada
adik perempuanku, kalaupun ia lebih menyukai Rayyan, bagaimanapun caranya aku
harus bisa menerima itu semua. Aku melamun sejenak, memandangi PS3. Aku rindu
saat-saat seru dimana aku dan Risti memainkan game Atelier Meruru. namun
seketika lamunanku buyar tatkala mendengar telfon di ruang tengah berdering tak
henti-henti. Akupun dengan berat hati menjawabnya.
“Hallo? Oh.. Rayyan, ada apa yan?” tanyaku sedikit terkejut
setelah tahu bahwa ada suara pria itu lagi dibalik telfon sana. Tapi sayangnya,
ia menelfon untuk Risti dan bertanya mengenai janji mereka untuk pergi keluar.
Sambil mendesahkan nafas, akupun terpaksa ke kamar Risti untuk menyerahkan
telfon.
Risti ada di atas kasurnya, duduk dengan menyelonjorkan kaki
seperti orang tak berdaya. “Rayyan telfon, Ris!” ujarku sambil menyerahkan
telfon itu.
“Rayyan?” Wajahnya menampakkan raut kebingungan, nafasnya
naik turun tak teratur, sepertinya penyakit sesak nafasnya kambuh lagi, tapi ia
berusaha untuk bisa bernafas dengan baik. Aku masih tetap berada disitu
mendengarkan percakapan mereka lewat telfon meskipun aku tidak bisa mendengar
suara Rayyan. Tapi barusan saja ku dengar Risti menyetujui rencana kencannya
lantas menyudahi pembicaraan.
“Risti, asmamu kambuh lagi?” tanyaku cemas, sungguh aku
tidak tega melihat wajahnya yang sangat pucat itu. “sebaiknya kamu gak usah
pergi, nanti tambah parah. Ini pasti karena akhir-akhir ini kerja lembur terus
makanya kambuh, harusnya kamu jaga kesehatan kamu donk.” Aku mengomel seperti
ibu guru yang sedang menghukum siswanya.
“Udah, aku enggak apa-apa kok, aku Cuma butuh bantuan kamu.”
Pintanya, akupun duduk di sampingnya untuk mendengarkan. “kamu maukan
menggantikan aku buat ketemu sama Rayyan?”
“HAHH!!” aku terkejut, ini ide gila pikirku. “mana mungkin,
Ris! Masa aku yang pergi.”
“Tolong, Ras aku gak bisa pergi dalam keadaan seperti ini,
untuk kali ini saja kumohon.”
“Tapi bagaimana nanti kalau Rayyan tahu aku bukan kamu, dia
pasti akan sangat kecewa dan, apa lagi aku, aku pasti malu.”
Risti menarik nafasnya kesulitan, bagaimana bisa wajahnya
semakin pucat seperti itu. “Enggak, Ras! Rayyan gak akan tahu, percayalah”
Aku berpikir keras, aku sangat ingin membantunya tapi disisi
lain aku tidak tega meninggalkan Risti dalam keadaan seperti ini, meski
beberapa hari ini hubunganku dengan Risti tidak begitu baik, tapi aku tetap
mencemaskannya. Sejak dulu Risti memang sering sakit-sakitan, tubuhya lebih
lemah daripada aku. Tapi sepertinya ini adalah permintaan yang sangat serius,
akhirnya mau tidak mau akupun menyetujui keinginannya.
Pukul delapan malam, akhirnya dengan sangat berat hati aku
pun pergi ke café tempat dimana Risti memberi tahuku akan pertemuanku dengan
Rayyan. Sisi positifnya hanya pada poin dimana aku bisa bertemu dengan Rayyan,
tapi seharusnya tidak sebagai Risti, tapi Rasti.
Kulihat Rayyan telah duduk di meja nomor 21, duduk rapi
dengan setelan kemeja dan jacket kulit mahalnya. Subhanalloh… dia sungguh
tampan. Sumpah mati jantungku berdegup kencang sampai-sampai tenggorokanku
seolah tersumbat. Aku gugup, sangat gugup. Namun kuberanikan diri untuk
menghampirinya, sembari memastikan bahwa gaun pilihanku ini telah membantuku
untuk tampil sempurna,
“Hai Ray, udah nunggu lama?” tanyaku. Dan iapun berdiri
sambil tersenyum, ya Allah… senyum itu lagi. Untung aku sudah berpegangan pada
kursi, kalau tidak mungkin aku sudah jatuh terkulai akibat senyum si tampan
itu.
“Rasti, kamu cantik sekali malam ini.” Serasa sapaan itu
membuatku kaget kepalang tanggung. Belum apa-apa Rayyan sudah tahu kalau aku
bukan Risti.
“Aku Risti, Ray… bukan Rasti” sangkalku, tapi ia malah
tertawa.
“Aku sudah tahu kamu Rasti, ini semua adalah rencana Risti
supaya aku bisa bertemu denganmu. Anggap saja sebagai kejutan.”
Aku jadi merasa seperti orang tolol yang tak tahu apa-apa.
Mengapa Rsiti menyuruhku melakukan ini, ku akui ia telah berhasil mengelabuiku
dengan pura-pura sakit agar aku bisa menurunkan belas kasihan terhadapnya dan
menyetujui rencana tololnya ini. Gila saja, kali ini aku benar-benar marah
padanya.
Tapi tidak secepat itu, Rayyan menjelaskan semuanya. Tentang
perasaannya yang selama ini ia sembunyikan kepadaku, bahwa ia tak punya
keberanian untuk mengatakan bahwa ia juga sangat menyukaiku, bukan menyukai
Risti. Ia bercerita tentang alasan kenapa ia sering menelfon Risti dan pergi
bersama, ternyata hanya karena ia ingin tahu lebih dalam tentangku. Aku terdiam
mendengar semua itu, dan sama sekali tak bisa berkata apa- apa saat Rayyan
menyatakan cinta padaku. Dengan tutur lembutnya yang membuatku hampir melayang
dan sama sekali tak bisa menolak niatnya untuk menjadikanku kekasihnya
Aku telah salah, menilai Risti. Seharusnya aku tidak
bersikap dingin terhadap saudara perempuanku, ia telah melakukan banyak hal
untukku terutama soal Rayyan. Saat aku pulang nanti aku pasti akan sangat
berterima kasih dan meminta maaf pada Risti, karna Ristilah aku dapat
menghabiskan malamku bersama Rayyan dengan sangat behagia. Rayyan mengajakku
nonton bioskop jam midnight, aku sampai lupa waktu sangking bahagianya. Seakan
lupa pada semuanya, lupa pada jam yang telah menunjukkan hampir pagi. Saat
Rayyan mengantarku pulang, aku terlalu mengantuk sampai tak menyadari tubuhku
tertidur di sofa.
“Mbak Rasti bangun mbak!” bi Weih berusaha membangunkanku,
akupun terpaksa membuka mata dan bangkit saat menyadari hari ternyata sudah
sangat cerah.
“Bibi?! Maaf aku ketiduran di sofa, Risti mana?” tanyaku
masih dengan wajah linglung.
“Itu dia yang mau bibi kasih tahu, tadi malam mbak Risti
masuk rumah sakit.”
“Apa!!” aku sangat terkejut dengan kabar barusan. “Risti
masuk rumah sakit? Kenapa bibi gak kasih tau Rasti dari tadi malam? Memangnya
dia kenapa”
“Tadi malam mbak Ris pingsan hampir kehilangan nafas mbak,
kata dokter penyakit jantung bawaanya kambuh lagi, mbak Risti sendiri yang gak
mengizinkan bibi buat telfon mbak Rasti, dia bilang nanti saja kalau mbak Ras
udah pulang, takut ganggu mbak Ras katanya.”
Ya Tuhan… sebegitu pedulinya Risti kepadaku. Disaat-saat ia
sekarat seperti itu, masih saja memikirkan kebahagiaanku. Seharusnya aku tidak
meninggalkannya, seharusnya kau bisa lebih menjaganya dan tidak mementingkan
kebahagiaanku semata hanya karena laki-laki. Aku telah salah mengira kalau dia
hanya sakit pura-pura. Aku telah dua puluh dua tahun hidup bersama dengan
Risti, barangkali ini salahku karena tidak menjaganya dengan sangat hati-hati,
malah mencemoohnya dan bersikap tidak mau tahu. Aku mengutuk diriku sendiri,
menangis sejadinya dengan penyesalan selama kakiku tanpa lelah menembus koridor
rumah sakit.
Kulihat Bagas duduk di kursi tunggu merenung, kemudian
menatapku penuh heran. Ternyata ia telah mendahuluiku. Tak peduli lagi, aku
masuk kedalam. Saat mendapati Risti terbaring lemah tak berdaya aku semakin
menangis tak terhenti, kuraih tangannya yang dingin dan kulihat sekujur
tubuhnya yang tak bergerak sama sekali. Lewat sentuhan itu, aku bisa merasakan
bagaimana rasa sakit itu sangat membuatnya menderita. Selang oksigen yang
menancap dihidungnya, infuse yang menembus lengannya dan rasa sakit di dadanya
itu, aku ingin berbagi denganmu Ris…
“Bangun Ris, aku disini.” Suaraku lirih membangunkannya,
tersenyum aku ketika melihat Risti akhirnya membuka mata dan menoleh kearahku
untuk menunjukkan senyum kecilnya.
“Rasti, kamu udah pulang?” aku senang mendengar suaranya
yang sangat teduh, tak kusangka ia masih sempat bertanya seperti itu kepadaku.
“Iya, Ris.. kamu jahat, kenapa gak kasih tahu aku kalau kamu
sakit? Seharusnya aku bisa menjaga kamu.”
“Hey, jangan menangis, aku Cuma gak mau ganggu kencan
pertama kamu.”
Air mtaku keluar lagi, ku belai rambut Risti dengan penuh
kasih sayang. “Gak adil, Ris. Kamu kesakitan disini sedangkan aku
bersenang-senang diluar sana.” Ya Tuhan aku tak tahu harus bagaiman mengatur
suaraku agar bisa berbicara seolah-olah aku kuat, karena sesunguhnya aku juga
lemah apabila melihat Risti menderita.
“aku minta maaf selama ini telah menyangkamu yang
macam-macam, aku sayang sama kamu. Kita dilahirkan sama, susah senangpun kita
harus bersama.” Suaraku gemetar, kugenggam kuat-kuat tangan Risti yang masih
dingin. “mulai sekarang aku janji gak akan mengecewakanmu dan akan melakukan
apapun untukmu asalkan kamu bisa sembuh,Ris...” Aku menarik nafas, lantas
tersenyum padanya.
“kalau kamu sudah sembuh dan pulang kerumah, kita akan
bermain Atelier Meruru lagi.” iapun tersenyum kepadaku lalu tertidur dalam
penjagaa.
Selesai....!!!
Oleh :
Innda Syahida
Phone Number : +6281396687652
inndacalalo@yahoo.com