Kamis, 18 Oktober 2012

Cinta Sejati


Cerita ini merupakan kisah nyata seorang tante yang saya temui di Bali, tetapi detail yang saya sebutkan mungkin tidak sesuai dengan kisah aslinya. Saya menuliskan apa yang saya tangkap dari yang diceritakan tante. Sebut saja Ami (bukan nama sebenarnya). Tante Ami bercerita mengenai pengalaman hidupnya ketika masa kuliah.

Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Ami sedang menjalankan semester terakhir dan berusaha menyelesaikan skripsi. Disaat itu pula, 2 minggu yang akan datang, Ami akan dipersunting oleh seorang pria yang bernama Iman (bukan nama sebenarnya).

Ami dan Iman telah berpacaran selama 7 tahun. Iman merupakan teman SD Ami. Mereka telah kenal selama 14 tahun. Masa 7 tahun adalah masa pertemanan, dan kemudian dilanjutkan ke masa pacaran. Mereka bahkan telah bertunangan dan 2 minggu ke depan, Ami dan Iman akan melangsungkan ijab kabul.

Entah mimpi apa semalam, tiba-tiba Ami dikejutkan oleh suatu berita.

Adiknya Iman: Mbak Ami, Mbak Ami. Mas Iman…Mas Iman….kena musibah!
Ami: Innalillahi wa inna illahi roji’un…

Saat itu Ami tidak mengetahui musibah apa yang menimpa Iman. Kemudian sang adik melanjutkan beritanya…

Adiknya Iman: Mas Iman…kecelakaan…dan..meninggal…
Ami: Innalillahi wa inna illahi roji’un…

…dan Ami kemudian pingsan…

Setelah bangun, Ami dihadapkan oleh mayat tunangannya. Ami yang shock berat tak bisa berkata apa-apa. Bahkan tidak ada air mata yang mengalir.

Ketika memandikan jenazahnya, Amit terdiam. Ami memeluk tubuh Iman yang sudah dingin dengan begitu erat dan tak mau melepaskannya hingga akhirnya orang tua Iman mencoba meminta Ami agar tabah menghadapi semua ini.

Setelah dikuburkan, Ami tetap terdiam. Ia berdoa khusyuk di depan kuburan Iman.

Sampai seminggu ke depan, Ami tak punya nafsu makan. Ia hanya makan sedikit. Ia pun tak banyak bicara. Menangis pun tidak. Skripsinya terlantar begitu saja. Orangtua Ami pun semakin cemas melihat sikap anaknya tersebut.

Akhirnya bapaknya Ami memarahi Ami. Sang bapak sengaja menekan anak tersebut supaya ia mengeluarkan air mata. Tentu berat bagi Ami kehilangan orang yang dicintainya, tapi tidak mengeluarkan air mata sama sekali. Rasanya beban Ami belum dikeluarkan.

Setelah dimarahi oleh bapaknya, barulah Ami menangis. Tumpahlah semua kesedihan hatinya. Setidaknya, satu beban telah berkurang.

…tiga bulan kemudian…

Skripsi Ami belum juga kelar. Orangtuanya pun tidak mengharap banyak karena sangat mengerti keadaan Ami. Sepeninggal Iman, Ami masih terus meratapi dan merasa Iman hanya pergi jauh. Nanti juga kembali, pikirnya.

Di dalam wajah sendunya, tiba-tiba ada seorang pria yang tertarik melihat Ami. Satria namanya (bukan nama sebenarnya). Ia tertarik dengan paras Ami yang manis dan pendiam. Satria pun mencoba mencaritahu tentang Ami dan ia mendengar kisah Ami lengkap dari teman-temannya.

Setelah mendapatkan berbagai informasi tentang Ami, ia coba mendekati Ami. Ami yang hatinya sudah beku, tidak peduli akan kehadiran Satria. Beberapa kali ajakan Satria tidak direspon olehnya.

Satria pun pantang menyerah, sampai akhirnya Ami sedikit luluh. Ami pun mengajak Satria ke kuburan Iman. Disana Ami meminta Satria minta ijin kepada Iman untuk berhubungan dengan Ami. Satria yang begitu menyayangi Ami menuruti keinginan perempuan itu. Ia pun berdoa serta minta ijin kepada kuburan Iman.

Masa pacaran Ami dan Satria begitu unik. Setiap ingin pergi berdua, mereka selalu mampir ke kuburan Iman untuk minta ijin dan memberitahu bahwa hari ini mereka akan pergi kemana. Hal itu terus terjadi berulang-ulang. Tampaknya sampai kapanpun posisi Iman di hati Ami tidak ada yang menggeser. Tetapi Satria pun sangat mengerti hal itu dan tetap rela bersanding disisi Ami, walaupun sebagai orang kedua dihati Ami.

Setahun sudah masa pacaran mereka. Skripsi Ami sudah selesai enam bulan yang lalu dan ia lulus dengan nilai baik. Satria pun memutuskan untuk melamar Ami.

Sebelum melamar Ami, Satria mengunjungi kuburan Iman sendirian. Ini sudah menjadi ritual bagi dirinya. Disana ia mengobrol dengan batu nisan tersebut, membacakan yasin, sekaligus minta ijin untuk melamar Ami. Setelah itu Satria pulang, dan malamnya ia melamar Ami.

Ami tentu saja senang. Tapi tetap saja, di hati Ami masih terkenang sosok Iman. Ami menceritakan bagaimana perasaannya ke Satria dan bagaimana posisi Iman dihatinya. Satria menerima semua itu dengan lapang dada. Baginya, Ami adalah prioritas utamanya. Apapun keinginan Ami, ia akan menuruti semua itu, asalkan Ami bahagia.

Ami pun akhirnya menerima lamaran Satria.

…beberapa bulan setelah menikah…

Di rumah yang damai, terpampang foto perkawinan Ami dan Satria. Tak jauh dari foto tersebut, ada foto perkawinan Ami ukuran 4R. Foto perkawinan biasa, namun ada yang janggal. Di foto tersebut terpampang wajah Ami dan Iman.

Ya, Ami yang masih terus mencintai Iman mengganti foto pasangan disebelahnya dengan wajah Iman. Foto itupun terletak tak jauh dari foto perkawinan Satria dan Ami. Sekilas terlihat foto tersebut hasil rekayasa yang dibuat oleh Ami. Namun Satria mengijinkan Ami meletakkan foto tersebut tak jauh dari foto perkawinan mereka.

Bagaimanapun Ami tetap akan mencintai Iman sekaligus mencintai Satria, suami tercintanya. Dan Satria merupakan pria yang memiliki hati sejati. Baginya, cinta sejatinya adalah Ami. Apapun yang Ami lakukan, ia berusaha menerima semua keadaan itu. Baginya tak ada yang perlu dicemburui dari batu nisan. Ia tetap menjalankan rumah tangganya dengan sakinah, mawaddah dan warramah, hingga saat ini…

Mendengar cerita diatas, terus terang saya merasa sedih, terharu, sekaligus miris. Saya kagum dengan sosok Satria yang ternyata benar-benar mencintai Tante Ami. Saya juga mengerti kepedihan Tante Ami ketika ditinggalkan tunangannya. Tentu rasanya sulit ditinggalkan oleh orang yang sudah membekas dihati.

Akankah ada pria-pria seperti Satria? Saya harap semoga banyak pria yang akan tetap setia kepada seorang wanita, menerima mereka apa adanya.

Minggu, 14 Oktober 2012

KISAH CINTA ABU-ABU

Di sisi dunia, roman-roman remaja mulai tumbuh. Gaya kekanak-kanakan yang dulu menyebalkan, kini berubah drastis bagai disulap pensil skalakabumbum. Dari yang dulu imut-imut kayak marmut, sekarang jadi amit-amit kayak moyangnya marmut. Dari yang dulu masih ngompol, sekarang malah makin beser. Tapi mungkin nggak dengan cewek yang satu ini. Cewek yang emang imut-imut tapi nggak kayak marmut, malah lebih mirip sama Pretty shinta artis Bollywood itu lho. Hidungnya yang mancung hampir kayak hidung pinokio. Matanya yang bulat coklat, bibirnya nan sexy, rambutnya yang tergerai hitam lurus, pokoknya jauh banget sama rambut sapu ijuk. Dan pokoknya, cewek yang satu ini benar-benar prefect n sedikit agak tomboy sih. Walau begitu dia jadi idola populer di sekolah lamanya, dan akan menjadi calon idola lagi di sekolah lanjutnya. Maklum aja hari ini dia baru mengenakan seragam khas abu-abu Sekolah Menengah Atas, yang dua hari sebelumnya masih mengenakan seragam biru-putihnya.
“Cinta, udah belum dandannya ? nanti kamu terlambat.” Cinta bukan panggilan lebay dari seorang ibu pada anaknya lho, tapi emang itu adalah nama dari seorang cewek yang cantik nan imut. Mungkin sebelumnya udah sempet di bahas sedikit tentang cewek yang satu ini. Suara sang ratu rumah udah terdengar tak sabar menunggu sang putri Cinta keluar dari kamarnya. Maklum saja, cewek yang satu ini nggak cukup beberapa menit bersolek di depan cermin kesayangannya. Mungkin bisa memakan banyak waktu, hingga banyak waktu yang terbuang sia-sia. Tomboy sih boleh aja, tapi ini namanya melebihi dosis seorang wanita normal untuk bersolek. Hahhahaah :D ketawa dikit lah.
“Rebes, Mom.” Satu jawaban singkat yang dilontarkan Cinta, untuk waktu yang berjam-jam terbuang.
“Udah donk Cin, eke bete nih chin. Liat loe gak selesai-selesai berhadapan sama eke.” Nada manja ala bancis akhirnya terdengar juga dari si cermin kesayangannya itu.
“Oke cermin, gue mau berangkat nih.” Cinta membalikkan badan dan mengambil tas Diesel selempangnya. Lalu berlalu pergi. I’m coming abu-abu . . . . . . . . .


***
Di sisi dunia lain pun terlihat sesosok makhluk tampan bin handsome, penghuni salah satu istana di sebuah perumahan Menteng. Dengan gaya cool and cute, si cowok yang bernama Revan itu menghampiri sang Raja yang sudah siap setengah jam lalu di depan halaman istana dengan bersandar di mobil sedan berplat B yang sudah hampir jamuran.
“Oke, Dad. I’m ready.” Si Revan pun langsung menghampiri ayahnya dengan gagah tak berani, tapi tetap dengan senyuman yang cute itu. Mobil mereka pun melesat secepat anak panah yang lepas dari busurnya, melewati celah yang kosong mobi-mobil yang lain.

***
Sebuah Sekolah Menengah Atas di Jakarta yang cukup megah, telah menanti siswa-siswi yang baru saja berganti abu-abu itu datang. Bel masuk pun dua menit lagi berdering. Di setiap penjuru kelas yang cukup luas, anak-anak sudah tak sabar menanti untuk memulai jam pelajaran pertama dimulai. Dengan semua yang semua serba baru.

Karena saking rajinnya, ada yang sudah menyiapkan alat tulis di atas meja, seperti tempat pensil bergambar Doraemon; pensil yang bergambar Berbie; pulpen yang diujung tombaknya ada kepala Micky; dan nggak ketinggalan perlengkapan makan berbentuk kepala robot serta tempat air minum berwajah Smile warna biru.
“Eh Sis, elo mau sekolah apa mau camping ? kayak anak TK aja loe !” teriak salah satu siswa yang penampilannya cukup keren. Siska hanya diam. “Cin, elo di mana sih?” desis Siska pelan. Maklum aja, cewek yang satu ini adalah sahabat Cinta waktu SMP dulu. Walau dia agak cupu, tapi Cinta senang punya teman seperti dia, teman yang terlalu baik untuk tidak diajak berteman. Teman-teman yang lain masih saja menertawakan keluguan Siska. Dan tak lama kemudian, bel pun berbunyi. Tiba-tiba di ambang pintu ada dua sosok manusia yang muncul tiba-tiba. “Morning semua, sorry gue telat.” Suara yang hampir berbarengan itu mengalihkan semua mata yang sekitar beberapa menit yang lalu sedang menjuru pada sosok yang agak kuper n cupu. Sekejap saja semua mata tertuju pada dua pasang mata di ujung pintu kelas. Seluruh pasang mata yang tadinya menertawakan Siska, sekarang malah berganti haluan.
“Cin, sini !” seru Siska sambil mengayunkan tangannya untuk memberi aba-aba pada Cinta untuk segera duduk di sebelah bangkunya yang kosong. Cinta pun mengiyakan.
“Oya Cin, kok loe tadi bisa barengan telat gitu sama tuh cowok ?” Siska membuka obrolannya, dan ditatapnya Cinta dari arah samping.
“Nggak tahu, takdir kali.” Cinta tak terlalu menanggapi, dia malah asyik sibuk sendiri.

***
Hari pertama sekolah dilalui dengan baik. Keesokannya akan ada banyak hal yang akan lebih menanantang.
Di kantin . . .
“Eh Cin ! loe nggak usah kecentilan and kegeeran yach ! mentang-mentang kemarin loe ke ‘gap’ bareng sama Revan.” Pantas aja tuh cowok jadi langsung tenar ke kakak kelas, secara dia ternyata saingan populer juga kaya Cinta si cewek yang agak tomboy yang satu ini. Baru ke ‘gap’ kayak kemarin aja udah seheboh itu. Mulut cewek di depan Cinta udah monyong-monyong lima centi itu, cuma dicuekin sama Cinta. Siska yang melihat adegan itu Cuma meringis katakutan di belakang tubuh mungil Cinta. Sedangkan Cinta tak gentar sedikitpun.
“Eh ! loe bisu apa tuli sih ?” cewek itu makin garang n panas. Pantes aja omongannya cuma dikacang rebusin abis-abisan sama Cinta. “kita hajar aja nih cewek !” samber teman Stela, nggak kalah garang dari Stela.
“Eh cewek cupu cengeng ! ngapain loe liat-liat ?!” bentakan Stela membuat Siska mati kutu. Tapi nggak buat Cinta, dia masih santai dengan es apel and siomay di hadapannya.
“Oke guys, lebih baik kita seret aja nih cewek cupu. Buat kita jadiin tumbal. Kita bawa ke kamar mandi dan kita mandiin aja sekalian. Hahahahahaha.” Cewek and geng-nya itu menyeret Siska dengan sadis sambil tertawa puas. Anak-anak yang berada tak jauh dari lokasi perkara itu Cuma bisa diam. Tak ada yang berani sedikitpun sama geng cewek-cewek yang terkenal dengan tajir, top, and garang itu. Jadi penonton setia adalah cap buat anak-anak hanya cuma bisa liat adegan-adegan yang diperankan geng itu, tanpa harus jadi pemeran figura yang Cuma numpang lewat atau sekedarnya nampang wajah yang separuh terlihat. Sungguh tragis.
Lima langkah cewek and geng-nya itu melewati tubuh mungil Cinta, akhirnya Cinta pun angkat bicara. “Eh loe !” langkah geng itu pun seraya berhenti, setelah baru saja ada panggilan alam yang menggoda mereka. “Hmmm, kita gitu maksud loe ?” tanya sok gak nyadar, diwakilin salah satu personil geng itu. “Ya loe loe pada ! siapa lagi !” gaya khas betawinya pun keluar juga.
“Berani juga nyali loe yach !” Stela kebawa emosi.
“Loe fikir gue takut sama makhluk macam kalian ?” semakin dekat langkah Cinta yang menghampiri geng itu.
“Sebelum loe mandiin cewek ini,” Cinta menunjuk Siska yang makin gemetar nggak keruan, dan “BYURRR . . . !!”
“Gue mandiin loe duluan ! ngerti loe !” es apel Cinta mendarat tepat ke wajah Stela. Cinta langsung menarik Siska ke sampingnya. Stela and geng-nya melongo nggak nyangka. Terbengong-bengong ala kucing yang mau pingsan karna diguyur air. Bedanya ini nggak kabur pas disiram air. Hehe :D
“Satu hal yang loe harus tahu,” Cinta diam sesaat dengan wajah yang baru aja menampakkan sinis. “kalo loe bermasalah sama gue, loe hadapin gue satu lawan satu ! dan nggak usah loe bawa-bawa temen gue. Ngerti loe !” bentakkan ganas Cinta nggak bisa ditolak Stela. Cinta and Siska pun langsung meninggalkan kantin tanpa memperdulikan Stela yang masih melongo heran. Semua anak yang masih berada di TKP masih terbengong-bengong melihat adegan live film gratis tadi. Mereka cukup terhibur, ada pula yang tersenyum merendahkan Stela and geng-nya. Tapi tidak untuk Stela and geng-nya.

***
Sepatu kets olahraga dengan warna biru sudah terpasang rapih. Kaus olahraga pun tak kalah matching dengan sepatunya. Dandanannya kali ini pun lebih sporty. Yang kemarin rambutnya digerai, sekarang dikuncir 1 belakang dengan model jini oh jini beraksesoriskan pita Micky biru. Di tangan kanannya terbelit gelang Power Balance. Dan Cinta pun siap berangkat dengan mobil BMW-nya.

***
Tas Alto hitam pun sudah digembloknya. Cowok yang satu ini pun nggak mau kalah keren dari hari kemarin. Rambutnya yang sengaja dimodel mohak cepak pun bikin wajahnya semakin keren n cool. Motor pun melesat cepat dan siap menjilati aspal jalanan yang cukup ramai pagi ini.

***
‘Ciiiiiiiiiittttttt . . . . . . !!’
Decitan rem dua kendaraan pun saling berlomba menerobos masuk tempat parkir kendaraan. Dua sosok manusia pun muncul. Di sisi kanan kendaraannya ada si cewek cantik yaitu Cinta. Dan di sisi kiri kendaraannya ada cowok yang super duper keren n ganteng yaitu Revan. Tak disangka dan tak diduga,semua orang yang berada tak jauh dari tempat parkir itu menatap dua sosok yang baru muncul itu. Semua mata tertuju pada kedua-nya, dari pinggir lapangan, tepi kelas atau pun seluruh penjuru sekolah. Cinta dan Revan berjalan beriringan. Tak sebersit sedikitpun untuk kedua-nya melirik apalagi melihat satu sama lain .

***
Di tengah lapangan basket pun sudah ada dua kubu pemain yang siap bertanding hari ini. Dikubu penantang ada Cinta, Jessica, Amel, Dinda dan Meta yag mewakili kelas satu. Dan di kubu lawan ada Stela, Angel, Reva, Cindy dan Vira yang mewakili kelas dua. Kapten dari kedua kubu pun saling berhadapan.
“Loe hati-hati aja, bentar lagi loe akan kalah.” Stela dengan sinisnya menatap Cinta, sambil memberi jempol terbalik. Cinta tampak tenang.
“Siapa takut ! lebih baik loe pulang aja deh sekarang ! daripada loe akan kalah telak dan malu.” Cinta tampak tenang dan berjalan membalikkan badan menuju tim-nya. Setelah lima menit untuk mengatur strategi, kedua kapten dari kedua kubu pun berdiri di tengah lapangan. Wasit pun meniup peluit tanda pertandingan dimulai. Yang pertama mendrible bola adalah tim Stela, saat akan melempar bola ke arah ring lawan, bola pun terpotong oleh kelincahan Cinta. Cinta pun mendrible bola dengan mulusnya dan masuk ! tim Cinta sudah unggul di score pertamanya. Tim Stela pun nggak mau kalah telak sama tim Cinta. Dengan santai Cinta pun kembali mendrible bola dengan lincahnya.menit pun berlalu berganti jam. Persaingan kali ini sangat ketat, kedudukan sekarang 4:2. Tim Cinta masih unggul 2 point. Di sela waktu yang tersisa, kedua kubu semakin ketat mengejar score tertinggi. Dan ini lah puncak ketegangan para pemain dan penonton, kedua kubu sama-sama kuat. Wasit pun akan meniupkan peluit tanda pertandingan selesai. Wasit menghitung mundur, 5, 4, 3, dan dihitungan ke-2, MASUK !! Cinta berhasil memasukkan bola ke arah ring. Dan akhirnya, ‘prrrriiiiiiitttttt . . . . . . . priiiiiittttt . . . . !!’ peluit tepat ditiup dihitungan ke-1. Dan akhirnya tim Cinta lah yang memenangkan pertandingan. Mereka berpelukan kayak Teletubies. Dan tim Stela pun pergi meninggalkan lapangan dengan wajah ketekuk and kusutnya minta ampun, kayak baju yang belum disetrika.

***
Kantin mendadak ramai, padahal bel istirahat belum berbunyi. Siswa-siswi menyerbu semua kedai makanan yang ada di kantin. Diborong dah tuh. Banyak siswa –siswi kelas satu sampai dengan kelas tiga nongkrong-nongkrong di tepi lapangan. Tiba-tiba ada panggilan alam yang memperingati Cinta untuk menjauh dari tempatnya berjalan. Cinta pun mencari asal suara itu dan apa yang dilihat Cinta ? bola basket melayang tepat ke arahnya. Dengan sigap Cinta menangkap bola itu dengan gaya khas anak basket yang baru aja menerima umpan dari rekannya dan dimasukkannya bola itu ke arah ring dan MASUK !! tepukan tangan yang cukup meriah itu meramaikan pagi yang menjelang siang ini. Cinta pun melanjutkan langkahnya menuju kantin. Tiba-tiba ada seseorang yang mengejar Cinta dan menepuk pundaknya.
“Hi !” seru seorang yang tadi menepuk pundaknya. “Nama loe siapa ? tadi lemparan loe boleh juga.” dilanjut dengan perkenalan awal, sambil mengulurkan tangan dan tersenyum manis pada cewek tomboy satu ini.
“Gue Cinta. Nama kakak siapa ?” Cinta pun menyambut tangan yang menjabatnya dengan senyum manis pula.
“Nggak usah panggil kakak, panggil gue Aldo.” Ajegile, masih ada juga ya cowok yang super duper keren kayak gini di sekolah gue. Cinta ngobrol sendiri dalam hati and gak lupa gaya melamunnya.
“Hi Cin, ko malah diem ?” lamunan Cinta langsung pecah, karna keasyikan ngelamunin cowok di depannya.
“Oh, nggak pa-pa kok.” Cinta terpojok dan memerahlah wajah cantiknya. Kayak tomat yang baru aja masak.
“Oya, loe mau ke kantin kan ? bareng yuk !” ajak Aldo sok kenal sok dekat. Makin merah aja tuh wajah tomat Cinta, nggak habis fikir gara-gara dia mau kelempar bola jadi bisa kenal cowok se keren Aldo. Lumayanlah.

***
Perasaan Cinta membludak, kacau dan benar-benar tidak terkontrol. Dilemparnya tas itu ke atas kasur dan dibaringkannya tubuh mungil itu ke dermaganya. Fikiran Cinta melayang, menerawang dan memutar-mutar isi otaknya. Kedua lelaki yang sekarang sedang mencoba mendekatinya, tiba-tiba saja berjalan-jalan di otaknya. Entah itu Revan ataupun Aldo. Nggak tau gimana keduanya jadi saling mendekati Cinta. Untuk Revan, mungkin karna memang dia sekelas dengan Cinta, sedangkan Aldo yang tiba-tiba dikenalnya karna adegan yang nggak terduga. Karna bola basket itu yang membuatnya jadi kenal dengan sesosok cowok yang super duper keren itu. Yang jelas, mereka sedang berlomba untuk mendapatkan hati Cinta. Wajah itu tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam angan Cinta. Wajah itu terlihat lebih tampan dari pandangan aslinya. Cinta pun sendiri bingung apa yang terjadi pada dirinya, ia benar-benar pusing tujuh keliling dunia jalan kaki.

***
“Cin, gue mau ngomong sesuatu sama loe.” Sorot matanya yang tajam menghinggap serius dan cowok itu pun menarik tangan Cinta.
“Apa-apaan sih loe Van !” Cinta membentak sekaligus kaget dengan tingkah dan sikap Revan.
“Gue mau ngomong penting sama loe. Gue minta maaf udah buat loe marah kayak gini. Please, dengaerin gue dulu.” Suara Revan melemah dan kini tatapannya pun melemah. Anak-anak di sekitar lapangan basket berkerumun mendekati Revan dan Cinta. Dan membuat sebuah lingkaran yang di tengahnya ada Revan dan Cinta yang sekarang jadi pusat perhatian.
“Dengerin semua ! gue Revan, sebelumnya gue minta maaf udah ganggu waktu istrahat loe-loe semua. Di sini, dan di tempat ini, gue mau nyatain cinta sama seorang cewek. Emang bisa dibilang norak. Gue sendiri juga nggak nyangka bisa suka sama cewek secepat ini. Tapi gue udah yakin dengan perasaan gue, dan segala resiko ditolak gue udah siap.” Tiba-tiba Revan duduk merendah di hadapan Cinta. Cinta bengong tak bisa berkutik.
“Cin, gue suka sama loe, sejak pertama gue liat loe. Loe mau nggak jadi cewek gue ?” Dor !! tembakan sudah tepat sasaran.
“Gue . . . gue . . .” Cinta terbata-bata.
“Gue tahu Cin, ada cowok lain yang menyukai loe juga. Dan loe juga menyukainya. Dia kan ?” Revan menunjuk Aldo sinis, yang baru saja tiba di TKP.
“Revan !” bentak Cinta seketika.
“Oke, oke. Gue ngerti. Sekarang loe pilih gue atau dia ?” Revan melemah.
“Sebelumnya gue terimakasih sama loe Van. Gue nggak nyangka aja loe berani nembak gue langsung di hadapan teman-teman gue. Oya, buat Aldo, makasih loe dah baik banget sama gue.” Cinta memandang Aldo. Aldo pun tersenyum mendengar ucapan Cinta.
“ dan buat Revan, jujur aja gue rada stres deket sama loe. Yang akhirnya membuat gue bermusuhan sama Stela and geng-nya sampe bikin gue ribut di kantin. Itu karna loe. Dan Cuma gara-gara salah paham gini, temen gue jadi ikut-ikutan apes karna loe. Tapi setelah beberapa hari gue berfikir tentang perasaan gue, gue udah pastiin kalau gue suka . . . . . Aldo.” Jelegar ! petir menyambar hati Revan. Aldo yang sedari tadi melihat adegan itu, tersenyum puas dan merasa menang.
“Oke, gue terima keputusan loe. Makasih.” Revan sangat kacau dan beralalu pergi.
“Tapi gue lebih mencintai loe Van ! lebih-lebih dari perasaan gue ke Aldo.” Cinta berteriak dan menghampiri Revan. Langkah Revan terhenti.
“Apa Cin ?” Revan tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
“Gue lebih mencintai loe Van, gue . . . . . . . gue mau banget jadi pacar loe.” Cinta mengulang ucapannya. Revan pun tersenyum senang. Seluruh anak di lapangan basket itu bertepuk tangan gembira, menyambut jawaban Cinta untuk menerima Revan.
“Makasih Cin, gue seneng dengernya.” “Oke. Nih gue tantang loe main basket satu lawan satu. Siapa yang kalah, harus mentraktir seluruh anak satu sekolahan. Gimana ?” tantang Revan yakin.
“Oke. Siapa takut !” Cinta dipeluk Revan dengan mesra dan anak-anak yang lain pun ikut berpelukan kayak teletubies.
“Yeeaaahhhhh . . . . . . . . . . . . .” seruan berbarengan seluruh siswa. Aldo dan Stela pun pergi meninggalkan lapangan dengan hati yang teramat sakit dan kecewa.

***
“Kat ! Kat ! Ending yang bagus. Saatnya bilang ‘SEM PUR NA’.” Suara Sutradara memecah gembira di tengah-tengah kegembiraan para pemain cerpen ‘KISAH CINTA ABU-ABU’. Semua berpelukan tanda gembira.
Oleh :
 Alif Fanny Wulandari


Jumat, 12 Oktober 2012

"DIK, AKU MEMANG INGIN MATI BERSAMAMU"


Inilah sebuah cerita asmara berujung darah. Karena kekasihnya menikah dengan pria lain, lelaki sok jagoan ini marah-marah. Bukan hanya ancaman, pisau pun bicara.

Benar kata orang, cinta memang buta. Saking butanya, bisa jadi gelap mata karena asmara ditolak. Itulah yang terjadi pada diri Agung Priyono (29) warga Jalan Bengawan Solo, Blitar (Jatim). Karena sakit hati tak bisa memiliki sang kekasih sebagai istri, Agung membabi buta menganiaya wanita yang sudah bersuami . Setelah itu, ia berusaha bunuh diri. Beruntung, keduanya masih bisa diselamatkan.

Cerita asmara berdarah ini terjadi Senin (10/10) lalu di Rumah Sakit (RS) Syuhada Haji, Blitar. Pagi itu Chuliati (28) yang sehari-hari berprofesi sebagai perawat, tengah sibuk mendampingi dokter melakukan pemeriksaan pasien. Belum lama ia mendampingi dokter, tiba-tiba Agung, mantan kekasihnya,datang menemui dirinya. "Kamu pilih aku atau Siswanto?" ujar Agung dengan nada keras dan tidak bersahabat.

Berkali-kali Siswanto mengutarakan pertanyaan itu. Melihat gelagat yang kurang baik, Chuliati mengajak Agung menuju ruang perawat. Chuliati mengku repot menjawab. Ia memang sudah jadi istri Siswanto. Di rahimnya juga bersemayam janin berusia empat bulan, buah cinta dengan suami yang menikahinya Juni 2005 lalu.

Namun, kalau menjawab 'Siswanto', Chuliati takut karena ia melihat sebilah pisau dari balik baju Agung, yang sepertinya sengaja ditunjukkan kepadanya. "Jadi saya kerepotan mau jawab apa? Saya hanya bisa berlaku halus supaya dia tak emosi," ujar Chuliati yang masih terbaring di RS. Syuhada, tempat biasa ia merawat pasien.

KALA PISAU BICARA
Kala itu, Chuliati berusaha menenangkan Agung. "Mas, sudahlah jangan malu-maluin. Masak di rumah sakit, kok, bawa-bawa pisau segala. Sudah jangan pakai gitulah," bujuk Chuliati. Bukan hanya Chuliati yang berusaha meredam emosi Agung. Yuli, kepala ruangan yang juga menyaksikan adegan itu, berusaha menenangkan Agung.

Mungkin merasa jengkel tak mendapat jawaban yang memuaskan hatinya, Agung mengeluarkan pisau dari balik bajunya. Secepat kilat pisau yang cukup besar itu diangkat tinggi-tinggi. Lalu, diayunkan dengan gerakan memotong jari-jarinya sendiri yag diletakkan di meja. Akibatnya, jari tengahnya langsung putus, sedangkan telunjuknya kiwir-kiwir.

Adegan mengerikan di depan matanya itu, membuat Chuliati nyaris pingsan. Belum sadar apa yang terjadi, Chuliati melihat Agung mengayunkan pisau ke tubuhnya. Berkali-kali sampai Chuliati tak ingat lagi. Yang pasti ia merasakah pedih karena luka di belakang telinga, perut bagian atas, dan dua jari tangan karena ia berusaha menangkis.

Samar-samar Chuliati juga melihat, Agung seperti orang kalap. Setelah itu, Agung merobek perutnya sendiri dengan pisau di tangannya sampai luka parah. Rupanya, Agung berniat mati bersama Chuliati. Setelah melukai dirinya sendiri, tubuh Agung lunglai dan jatuh terlentang. Pisau di tangannya sudah terlepas.

Saat itulah, Chuliati menggeliat dan berusaha berdiri. Menyaksikan Chuliati masih bertahan, Agung kembali beringas. Kembali pisau digenggam. Ia beberapa kali melukai paha kiri Chuliati. "Dia baru berhenti melukai saya,setelah ia tak berhasil menarik pisau yang menancap di paha saya," ujar Chuliati menceritakan peristiwa tragis itu. Di saat jatuh terlentang, Agung berkata, "Dik, aku memang ingin mati denganmu."

Seketika itu juga, RS gempar. Langsung saja Chuliati digotong rekan-rekannya masuk ruang operasi. Lukanya lumayan berat. Chuliati masih merasa beruntung karena anak dalam kandungannya tak ikut jadi korban. "Alhamdulillah, setelah dirontgent, bayi saya sehat-sehat saja," ujar Chuli.

Sementara itu, Agung yang juga bersimbah darah dibawa polisi ke RS Mardi Waluyo. Dari empat jarinya yang luka, hanya dua yang bisa diselamatlkan. Jari tengah dan telunjuk tak bisa disambung lagi. Sedangkan luka menganga di perut berhasil dijahit melalui proses operasi.

BERMULA SALING CURHAT
Mengapa peristiwa berdarah itu terjadi? Ceritanya ternyata cukup panjang dan berliku. Tragedi berdarah itu berawal dari hubungan asmara keduanya. Chuliati, sebenarnya adalah mantan kakak ipar Agung. Chuliati pernah menikah dengan Zainal Arifin yang tak lain adalah kakak kandung Agung. Pernikahan Chuliati dan Zainal retak. Puncaknya, tahun 2003 mereka pisah ranjang.

Menurut Chuliati, perpisahan itu dipicu karena suaminya tak punya pekerjaan. "Dia tak berusaha untuk mencari pekerjaan. Praktis hanya saya yang berusaha mencari nafkah. Bagi saya itu adalah persoalan prinsip karena menyangkut tanggung jawab suami. Saya pun memutuskan pisah darinya," ujar Chuliati menceritakan.

Nah, di penghujung perpisahan dengan suaminya, dalam waktu bersamaan Agung juga tengah bermasalah dengan istrinya. Ia yang semula tinggal bersama istrinya menjadi sering pulang ke rumah orang tuanya. Sama-sama bermasalah, keduanya saling curhat. "Ia juga menceritakan, rumah tangganya sedang retak," ujar Chuli polos.

Sering bertemu dan saling curhat, bertautlah kedua hati mereka. Mereka sama-sama mengisi kekosongan hati. Namun, setahun kemudian, Chuliati merasa ada gelagat kurang baik dalam diri Agung. Chuliati merasa dijadikan sapi perahan oleh Agung. "Dia selalu minta uang kepada saya, tapi dia sendiri tak mau kerja," tambahnya.

Selain itu, Chuli juga jengkel karena Agung berlaku kasar padanya. "Suatu kali, dia pernah kehilangan dompet. Dia yang enggak hati-hati, tapi justru saya saya yang dimarahi habis-habisan," ujar Chuliati seraya mengatakan, sepeda motornya sempat dijual oleh Agung dan uangnya dihabiskan.

Tak ada pilihan lain,Chuliati perlahan-lahan meninggalkan Agung. Chuliati juga menyarankan agar Agung kembali lagi kepada istri dan anaknya. "Saya pernah melihat, istri Agung datang ke rumah mertuanya. Saya curiga, sebenarnya Agung sudah pisah dari istrinya atau tidak. Kalau pisah, kok, istrinya masih datang ke rumah mertua. Makanya saya sarankan Agung untuk balik pada istrinya lagi saja," papar Chuli.

Namun, Agung tak mau cinta terlarang itu berakhir. Bahkan, Agung mengajak Chuliati untuk segera menikah. "Sebenarnya, saya tetap ingin pisah. Sayangnya, saya tak bisa tegas. Sebab, dia selalu mengancam akan membunuh kalau saya menolaknya," paparnya. 

Rabu, 10 Oktober 2012

7 YEARS OF LOVE (PART I)


Desember 2011

Tak bosan. Tak akan pernah bosan aku menatap sesosok gadis di hadapanku. Tetap cantik, meski kini ia tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat pasi. Entah mengapa, dalam tak kesadarannya aku seakan melihatnya tengah tersenyum kepadaku. Senyum yang tak asing buatku. Senyum yang akrab menyapaku di setiap hari-hariku….. dulu,,,,
“Aku merindukanmu”
Ucapku terisak bukan untuk yang pertama kalinya. Aku yakin ia akan mendengar apa yang ku katakan, walau tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Hanya suara dari mesin pendeteksi detak jantung yang ramaikan suasana yang ada kini. Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya.
*****

28 Desember 2010

“Pritha, ada bintang jatuh!!!”
“Lalu?”
“Kata orang sih, kalau ada bintang jatuh… segala keinginan kita akan terwujud”.
“Apa kamu percaya sama hal itu? Kamu kan cowo?”
“Emang cowo nggak boleh percaya begituan?! Udah deh, mending kita coba dulu ajah!!”
Langit malam bersolek indah malam ini. Gemintang anggun hiasi kepekatan malamnya. Dan di bawah dekapan malamnya, ku habiskan waktu bersama Pritha, sahabatku. Seorang gadis cengeng yang periang, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Gadis kecil keras kepala yang terus mengajakku untuk main boneka bersamanya, meski ia tahu bahwa aku seorang bocah laki-laki. Gadis cilik yang super cerewet dan mau menang sendiri. selalu memaksa aku untuk terus memboncengnya mengelilingi kompleks perumahan kami, meski kami sudah mengitarinya lebih dari 5 kali.
“Udah berapa lama ya kita saling kenal?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.
“Nggak tau!! Emang kenapa? Toh, pada awalnya aku terpaksa kan mau main dan kenal sama kamu!”
“Bawel amat sih, aku serius,Pram!!”
“Emang siapa yang nggak serius sih?!”
“Jadi udah berapa lama ya kita jadi sahabat?”
“Enam tahun”.
“Sok tahu! Emang kamu beneran yakin?”
“. . . .”
“Prithaaaaaa!!!!” tiba-tiba suara tante Vivi hadir memecah sunyi yang ada di antara kami.
“Dipanggil noh, Non.”
“iya iya,..aku duluan ya Pram. Sampai besok…:)”
“Aku yakin banget,Tha. Kita udah deket selama enam tahun. Aku nggak bakal lupa. Nggak akan pernah lupa, Tha. Besok adalah genap enam tahun pershabatan kita. Semoga kamu juga nggak lupa”, ucapku dalam hati setelah sosok Pritha melangkah menjauh dariku.
*****

29 Desember 2010
“‘dddrrrrt….dddrrrttt…ddrrrttt’
From :     Pritha
        +628133xxxxxxx
Pram, jangan lupa ya. Hari ini kita janjian di taman biasa. Jam 9. Oke? Aku tunggu.
. . .
Sekali lagi ku lirik jam tanganku. Pukul 9.05. Sampai saat ini aku belum menemukan sosok Pritha. Tak biasanya ia terlambat. Dia selalu tepat waktu. Padahal, tadi aku sudah benar-benar terburu waktu, berusaha untuk tak terlambat walau hanya untuk kali ini saja. Kekesalanku mulai muncul. Apa Pritha sengaja datang terlambat untuk mengerjai aku? Awas saja dia.
Sembari menunggu, ku pandangi tulisan yang terukir di pohon Mahoni yang rindang ini. Kami menulisnya tepat enam tahun yang lalu. Dan sejak itulah, kami tetapkan hari itu sebagai hari jadi kami sebagai seorang sahabat. Sahabat yang akan selalu hadir disaat salah satu di antara kami jatuh ataupun sebaliknya. Sahabat yang selalu menjadi pendengar paling baik bahkan terkadang melebihi orangtua kami sendiri. Selalu ada. Selalu bersama. Sekarang. Dan selamanya. Amiin J
9.15. Pritha masih belum menampakkan sosoknya. Apa dia baik-baik saja? Tak seperti biasanya ia terlmbat. Apalagi dia yang membuat janji. Tak ada jawaban dari panggilan ku ke ponselnya. Semua pesanku juga tak mendapat respon.
To :    Pritha
        08133xxxxxxx
Tha, kamu dimana? Uda jam beapa ini, Sayang? Inget ya, aku sibuk. Nggak bisa nunggu lama-lama aku. Kalau bisa bales sms ini. Harus!!!. Still waiting for you, Tha.
Tiga puluh menit.
Empat puluh lima menit.
Dan sekarang, hampir satu jam aku menunggunya. Pritha masih belum hadir di sini. Aku ingin marah. Aku benar-benar merasa dihianati. Tapi, sepertinya aku tak bisa. Ingin aku segera angkat kaki dari tempat ini. Hilang harap sudah untuk yakin bahwa Pritha akan menginjakkan kakinya di taman ini. Baiklah lima menit lagi. Ku beri kesempatan lima menit lagi. Tak lebih. Pritha, ku mohon…
----Lima menit kemudian….----
“Pramana!!!”
Sebuah suara menghentikan langkahku. Suara yang tak asing, begitu akrab di telingaku, namun terdengar lemah. Suara Pritha. Aku berbalik. Dapat ku lihat seutas senyum tersimpul di wajah Pritha. Ia tampak pucat. Lemas. Apa dia sakit? Tapi,….
“Maafin aku yah, Pram….” Dia berhamburan ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. “Kamu marah kan sama aku? Maaf banget, Maaf”.
Ku rasakan bulir-bulir bening hangat basahi bajuku. Aku tak mampu berkata-kata. Aku sendiri bingung dengan perasaan yang berkecamuk di dadaku. Apa ku harus marah pada sahabatku? Atau apa? Aku harus bagaimana? Aku tak tahu.
“Nggak, Tha… nggak,….” Ku tarik tubuhnya dari dekapanku.
“Pramana,…??” ujarnya pelan. Meluncur lagi bulir-bulir bening dari kedua pelupuk matanya.
“Nggak, Tha…. Nggak ada yang perlu dimaafin. J” ku rasakan dingin pipinya saat ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. “Emang tadi kamu kemana?”
“Emm,… anu… ee… er… tt..taadi…”
“Tadi kenapa?” potongku sambil menariknya untuk duduk di rumah pohon kami.
“Tha, tadi kenapa?” ku ulang pertanyaanku sesampainya kami di atas (di rumah pohon)
“Tadi,….. jam di rumahku mati. Ya, jamnya mati. Jadi aku nggak tau kalau uda jam 9 lewat. Sori yah,…”
“kenapa nggak bales sms ku? Toh kamu juga bisa lihat jam yang ada di hape kamu kan?”
“Em, hapeku mati. Batrey.nya habis. Sori…”
“Trus, jam di rumah kamu kan nggak cuma satu kan, Tha?”
“Iya sih, Cuma nggak tahu tuh… pada rusak berjamaah. Tadi papa juga telat pergi ke kantor. Trus mama juga—“
“iya iya. Aku ngerti kok. Nggak usahpanjang-panjang ceritanya. Bawel!!”
“Dasar kamu!! Masih aja ya nyebelin.”
 “Emang kamu ngapain ngajak ketemuan? Mau traktir nih?”
“Iih, nih orang. Doyan banget ama yang gratisan. Emang kamu lupa ya?”
“lupa?”
“hari ini kan genap enam tahun kita sahabatan. Pikun banget sih kamu!!”
“O.” jawabku sekenanya.
“Sumpah ya, kamu itu,….. awas kamu, Pram…!!!” protesnya sambil memukul ku gemas.
“Tentu aku nggak lupa, Tha. Dan aku seneng kamu juga nggak lupa”, batinku.
. . . . .
Kami habiskan seharian untuk mengulang segala cerita akan kenangan yang telah kami jalani bersama. Segala protes ia ajukan atas keisenganku selama ini. Dengan riang ia bercerita dan tentunya dengan senyumnya yang tak pernah hilang. Selalu hadir seperti biasanya. Senyumnya indah, meski harus hadir di wajahnya yang selalu pucat. Sejak awal kami bertemu, memang ia tampak pucat. Awalnya aku mengira dia mayat hidup, tapi…. Aku ragu akan ada mayat hidup yang bawel dan super cerewet seperti dia. Dia tergolong anak tertutup. Jarang keluar rumah. Orangtuanya super protektif terhadapnya,meski kini ia sudah duduk di kelas XII SMA. Tapi, aku tahu Pritha bukan anak manja. Aku juga yakin, orangtua Pritha pasti punya alasan kuat untuk bertindak protektif terhadapnya hingga detik ini.  Mungkin, karena dia anak perempuan satu-satunya,….
“Tha,…”
“Apa?”
“Kamu janji nggak bakal kaya tadi ya?”
“Maksud lo? ” jawabnya terheran-heran akan sikapku.
“Dasar oneng ya!! Gue tuh coba bersikap perhatian dan romantis sama lo!! Respon yang agak bagus dikit kek!!” protesku.
  Dia hanya nyengir dan kembangkan sebuah senyuman di wajahnya kemudian. “Pram, kamu mau janji sesuatu sama aku?”
“Apa’an?”
Dia menatapku lekat-lekat. Tampak sebuah rahasia tersimpan dalam dirinya. Sesuatu yang sengaja disembunyikan dariku olehnya. Ditariknya napas panjang, dihembuskannya perlahan kemudian.
“Kalau nanti aku nggak bisa lama-lama ada sama kamu, ataupun nggak bisa lagi main bareng kamu, kamu jangan marah sama aku yah, kamu—“
“Kamu ngomong apa sih?” potongku cepat. Kata- katanya sangat tak ku mengerti. Bahkan aku merasa aku membenci untuk mengerti kata-kata yang baru saja ia ucapkan.
“Dengerin dulu…., Pram”
“Bodo amat!!” jawabku sekenanya.
“Pramana,…” rengeknya.
“Udah sore, yuk pulang. Aku anter”
“Tapi,…”
“Udah, Aku nggak mau Tante Vivi entar ngomel-ngomel ama aku…”
“Pram,…”
“Udah. Ayo!!..” paksaku sambil menarik tangannya yang makin terasa dingin.
*****

26 Desember 2011

“Nak, Pramana….” Suara tante Vivi lembut menyapaku. Membangunkanku akan lelap.
“Udah malem, Sayang. Kamu pulang gih. Besok kamu harus kuliah kan? Bidang kedokteran bukan hal mudah, Sayang”
“Iya sih, Tan. Tapi… Pritha kan….”
“Kan ada tante disini. Besok masih ada hari, kamu kan bisa ke sini lagi?”
“Ya udah tante, Pramana pulang dulu. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, Sayang”
Suasana kota Bandung makin ramai. Kerlap-kerlip lampu kota beradu indah di pinggiran jalan protocol utama. Suasana berbeda sungguh terasa saat aku melangkah keluar dari gedung rumah sakit yang serba putih. Ku teruskan langkahku ke gerbang utama rumah sakit. Ku hentikan sebuah taksi. Ku komando sang sopir untuk bergegas menuju ke rumah karena hari makin larut, aku tak ingin membuat mama khawatir akan aku. Dalam taksi teralun lagu “Seven Years Of Love” . Sebuah lagu yang kembali membangkitkan ingatanku akan kenangan bersama Pritha dulu. Saat dimana aku bisa melihat senyumnya yang menenangkan. Teringat olehku, bahwa tepat 3 hari lagi pada setahun lalu adalah hari dimana aku dan Pritha sempat kembali mengukir janji. Pritha, aku yakin kamu tak akan pernah melupakan janji kita itu.
*****

29 Desember 2010
“Kak, ini lagu apa?” tanya Pritha sesampainya kami dalam mobil.
“Pak Maman jalan yah. Udah sore nih, kasian Pritha”
“Iya, Den” jawab Pak Maman,sopir pribadi keluargaku, patuh.
“Ih, Pramana. Jawab dong. Ini lagu apa?”
“Iya. Iya. Nyantai aja kali”
“Jadi?”
“. . .” K
“Dasar!! Mending tanya Pak Maman aja. Pak, ini lagu judulnya apa’an yah?”
“Maaf, Non. Pak Maman nggak tahu lagu bule kaya beginian.” Jawab Pak Maman terlalu jujur.
“Emang kenapa sih, Tha?”
“Aku suka ajah. Nggak boleh?”
“Suka lagunya atau penyanyinya?”
“Yee,… “
“Ini lagu judulnya, Seven Years of Love” jelasku
“Kok tahu?”
“Ya tahu lah. Ini lagu kesukaannya Findha. Dulu dia suka banget ama penyayinya. Jadi dia ngoleksi album plus posternya. Dan ini salah satu lagunya”.
 “Oh. Maaf kalau aku jadi harus ngungkit-ngungkit masalah Findha. Aku..—“
“Nggak apa. Nyantai aja. :)” potongku kemudian.
“Tahun depan, aku harap kita bisa main-main lagi kaya tadi. Tahun ketujuh persahabatan kita. Dan pastinya terus berlanjut sampe tahun-tahun persahabatan kita berikutnya.”
“Kamu kenapa sih? Pastinya lah kita bisa terus temenan. Kita masih punya banyak waktu, Tha. Kamu kenapa sih?”
Ia hanya diam. Keheningannya semakin membuatku penasaran akan apa yang terjadi pada diri Pritha. Sebenarnya apa yang disembunyikan olehnya? Oh, Pritha. . . .
“Janji?” ucap Pritha sambil mengangkat kelingkingnya.
“Untuk?” tanya ku keheranan.
“Tetaplah menjadi sahabatku dan tetaplah berada di samping dan—“
“Janji” ucapku memotong perkataanya. Ku kaitlan kelingkingku pada kelingkingnya kemudian.
*****

Mei 2011
Ujian sekolah telah usai. Namun, aku beserta kawan-kawan lainnya masih belum benar-benar merasa merdeka. Kami masih harus berjuang dan bersaing untuk dapat masuk perguruan tinggi yang kami inginkan. Dan kurang seminggu ke depan merupakan hari dimana hajat akbar di sekolah kami akan dilaksanakan, Hari Perpisahan. Hampir semua siswa antusias dalam hal ini. Berharap ini merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengukir sebuah kenangan terindah yang ada. Namun harapan itu seakan jauh berbeda akan keadaan yang terjadi belakangan ini. Pritha tiba-tiba menghilang. Tiada sedikitpun kabar darinya. Ia seakan hilang ditelan sang bumi.
Tak hanya sekali aku menghubungi ponselnya, namun tetap tiada jawaban. Tak hanya satu dua pesan yang ku kirim padanya, namun tak satupun yang dibalas. Aku coba mengirim pesan padanya melalui dunia maya, tetap tak ada respon. Hingga hari ini, sepulang sekolah, ku putuskan untuk mendatangi rumah Pritha.
Ting tong
Ting tong
Tak ada jawaban. Kali ini adalah panggilan terakhir dariku. Sebagaimana adab yang ada, jika sang pemilik rumah sudah dipanggil 3 kali dan ia tak kunjung menyambut. Maka sebaiknya kita pulang, karena mungkin sang tuan rumah sedang sibuk atau ada suatu kepentingan, atau saja ia sedang tidak mau diganggu.
Ting tong. . .
Bel terakhir telah aku bunyikan. Berharap kali ini benar-benar mendapat jawaban.
Satu menit…. Dua menit…
“Maaf, Den. Cari siapa?” seorang wanita paruh baya berpakaian sederhana menyambutku. Beliau Bi Imah, pembantu di rumah Pritha.
“Pritha ada, Bi?”
“Em… anu, Den… Emm—“
“Kenapa, Bi? Pritha baik-baik aja kan?” sergapku kemudian.
“Aden ndak tahu toh?”
“Tahu apa. Bi?”
“Non Pritha kan lagi keluar kota sama Tuan dan Nyonya”
“Apa? Kok Pritha nggak pamit ama aku, Bi? Pritha baik-baik aja kan?”
“Em,,, anu, Den.. Bibi… ndak tahu” jawab Bi Imah ragu-ragu.
“Bibi nggak bohong kan?”sergapku pada Bi Imah. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal akan kepergian Pritha dan keluarganya
“Nn…nndak kok, Den. Bener” jawab Bi Imah dengan suara pelan.
“Yaudahlah, Bi. Pramana pulang dulu. Nanti kalau mereka udah pulang, bilang yah aku kesini nyari Pritha” ucapku pasrah kemudian. “Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
****

Hening masih ada. Berputar-putar di antara kami. Aku, Pak Arif, guru Biologiku, dan Pak Sucipto, Kepala Sekolah. Aku masih terus bertanya-tanya akan alasan mengapa aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Hal penting apa yang akan dibicarakan beliau denganku? Kabar baik atau kabar buruk? Dua menit sudah pertanyaan itu berputar-putar di otakku. Dan dalam waktu dua menit pula, aku serasa akan mati tercekik rasa penasaran.
“Ehem.. ehem…” Pak Kepala sekolah berdehem, tanda beliau akan memulai pembicaraan.
Pak Arief tampak menggut-manggut, tanda beliau siap untuk mendengarkan setiap kata yang akan keluar dari Pak Sucipto.
‘Dag.. dig… dug.. dyar!!’ detak jantungku berdetak kencang, tanda aku siap untuk menerima segala kabar baik yang ada, juga sebagai tanda bahwa aku tidak siap menerima kabar buruk yang ada.
“Begini, Nak Pramana……” beliau memulai pembicaraan. “apa kamu sudah mendaftar untuk jenjang berikutnya di salah satu universitas?”
“I..ii..iya, Pak”
Pak Sucipto hanya manggut-manggut. Perlahan aku mulai berani mengangkat kepalaku. Ku tatap lekat-lekat kepala botak beliau yang terlihat berkilau di bawah sinar lampu TL.
“Selamat ya, Nak…” Pak Arief tiba-tiba angkat bicara. “Kamu mendapat tawaran program beasiswa di alah satu universitas terkemuka, dan—“
“Beneran, Pak!!” sambungku cepat, tak perduli Pak Arief sudah menyelesaikan kalimatnya atau belum. Yang penting hepi ajalah J. “Wah makasih nih, Pak…” ku raih tangan Pak Sucipto dan Pak Arief, dan ku cium punggung tangan beliau berdua bergantian.
“Iya ya , Nak…. Selamat untuk kamu” ucap Pak Sucipto penih wibawa.
“Ada masalah, Pak?”
“Begini, Nak… pihak universitas te;ah melihat hasil belajar kamu selama bersekolah di SMA ini…”
“Dan?”sahutku tak sabar.
“Mereka menawarimu untuk masuk dalam bidang kedokteran. Apa kamu berminat untuk masuk dalam bidang itu? Asal kamu tahu, Nak. Bapak sangat mendukung jika kamu masuk dalam bidang itu”
“Begitu pula dengan Bapak, Pramana. Bapak sangat mendukung tawaran itu. Ini kesempatan emas buatmu, Nak…” tambah Pak Sucipto.
“Biar saya pikirkan dahulu, Pak” jawabku sekenanya.
“Baik baik… bapak beri kamu waktu sampai awal bulan depan”
“Terimaksih, Pak”
“Sekarang kamu bisa kembali, Nak”
“Permisi, Pak..”
*****
 Bersambung  Lanjutkan Membaca

Oleh  :
 Aisyah Wulansari Rahajeng